Selasa, 28 Juli 2009

"Andung" seni suara dan sastra

“Andung-andung” seni suara dan sastra Batak
Sampai awal tahun 70-an, Andung sebagai senandung jiwa yang mengunakan bahasa batak halus dan lembut, masih cukup sering terdengar dalam komunitas inong-inong pangaletek amak (ibu-ibu penganyam tikar) di perkampungan santero tanah “Batak”. Inong-inong penganyam tikar itu, umumnya marnapuran (mengunyah daun sirih yang diolesi kapur bercampur tembakau dan biji pinang secukupnya), jika dikunyah warnanya jadi merah seperti darah. Oleh karena itu, inong-inong ini juga kerap saling tukar menukar napuran (sirih). Mereka markombur, saling mengomentari andung-andung yang baru dikumandangkan salah seorang dari mereka.
Adakalanya, inong yang pada mulanya menenangkan hati si pangandung terdahulu, justru malah meng-andung-kan senandung jiwanya, untuk mengungkapkan isi hatinya. Ibu-ibu yang lain mendengar sambil mengunyah sirih, namun tangan mereka tetap cekatan bekerja mengenyam tikar. Disini andung-andung berfungsi menjadi katalisator yang menimbulkan katarsisme semacam healing, penyembuhan bagi yang mengalami kesedihan maupun beban hidup, agar mereka tidak berlarut-larut memendam kegetiran hidup itu sendirian. Sebenarnya, ada juga lelucon sekitar andung-andung. Misalnya andung-andung untuk seorang kepala keluarga yang semasa hidupnya terlihat baik-baik saja, namun sesudah meninggal, baru ketahuan belangnya. Ternyata si bapak tersebut punya istri simpanan dan keluarganya baru tahu ketika dia menemukan ajal. Lelucon yang dimaksud disini adalah situasi, bukan lucu plesetan.
Andung dalam peristiwa kematian.
Dulu, apa bila sebuah keluarga mendapat kemalangan dan tak satupun anggota keluarga itu yang bisa mangandung, maka untuk menjaga suasana berkabung , biasanya ada saja anggota keluarga yang bisa mangandung, langsung tampil dengan andung berkisah turi-turian (tutur) almarhum semasa hidup secara spontan. Dalam peristiwa kematian, kehadiran pangandung sangat di butuhkan. Hal ini bertujuan untuk menghindari cibiran orang. Sebab orang “Batak” menganggap, Jika ada kepala keluarga yang meninggal dan belum mencapai strata sari matua/ saur matua, maka peristiwa itu adalah kematian yang menyedihkan. Ssudah sepantasnya untuk di-andung-kan, bukan untuk memeras air mata, tapi untuk menepis komentar orang, yang kadang menyakitkan hati. Seperti “Eh tahe, tanda do soadong lungun di inanta nai , ai so diboto mangandung” (wah, rupanya tak ada perasaan sedih pada ibu ini, sebab tidak dia tidak tahu mangandung). Komentar seperti itu kerap terjadi dan untuk menghindarkannya, biasanya diundanglah pangandung dari kampung lain. Namun, pangandung bukanlah profesi seperti penyanyi. Meskipun andung bisa kita katakan memiliki unsur seni suara namun tehnik vokal pangandung tidak memerlukan Vibra seperti umumnya penyanyi penyanyi pop batak. Para Pangandung lahir secara alamiah dan untuk mempelajari seni ini, hanya diturunkan lewat tradisi tutur/ lisan. Kurangnya data maupun transkripsi andung-andung kalaupun ada hanya dalam pustaha yang hanya dimiliki segelintir orang yang memang ditulis dalam aksara “Batak” pula. Sebab untuk menjadi pangandung yang paling penting, adalah penguasaan Sastra Bataknya.
Andung-andung selalu berkaitan dengan duka cita, nestapa, dan kemalangan hidup. Namun, seni yang dapat kita kategorikan sebagai seni tutur ini, perlahan-lahan menghilang dari khasanah budaya adat “Batak”. Ada banyak hal yang berkaitan erat dengan silamnya andung-andung ini. Antara lain adalah penggunaan bahasa “Batak” yang semakin minim dalam hidup keseharian masyarakat “Batak” itu sendiri.
Pada masa sekarang memang tak mungkin lagi mengembalikan pemandangan seperti komunitas inong-inong pangaletek amak tahun tujuh puluhan itu, namun dalam peristiwa meninggalnya seseorang, pangandung pun jarang kita temukan, yang ada hanyalah anggota keluarga yang mangangguk bobar, tangis terisak isak . Hal ini diperburuk dengan hadirnya lagu-lagu trio yang mengeksploitasi kesedihan, tanpa mengindahkan nilai-nilai sastra. Lagu-lagu itu terkesan seolah-olah seni andung, namun kalau kita cermati tak lebih hanya isak tangis belaka, sebagai nyanyian pop biasa yang tak lagi mengindahkan kaidah sastra yang mengacu kepada umpasa “Batak”. Disamping itu, moderenisasi juga turut mendorong berubahnya cara pandang bangso “Batak” pada andung-andung dan akhirnya sampai pada anggapan, bahwa tradisi leluhur itu sebagai ketinggalan jaman. Mungkin juga pola hidup masyarakat di tanah “Batak” sendiri, memang sudah berubah.
Sastra Batak terancam punah
Menurut Mula Harahap;” Bahasa itu seperti hutan tropis”, setiap tahun ada saja hutan tropis yang hilang dari muka bumi ini. Begitu juga dengan bahasa, setiap tahun ada yang punah. Salah satu bahasa yang ditengarai akan segera punah, adalah bahasa Batak. Chris Purba beberapa waktu yang lalu juga menuliskan,”Bahasa Batak dalam hitungan mundur menuju kepunahan”. Maju mundurnya sebuah bahasa tentu tak lepas dari berkembang tidaknya karya-karya sastra yang lahir dan menggunakan bahasa yang bersangkutan. Salah satu seni yang berkaitan erat dengan perkembangan sastra bahasa Batak, adalah seni Andung-andung atau senandung jiwa. Meskipun pada mulanya adalah tradisi tutur/lisan, namun andung sangat menonjolkan bentuk sastra umpasa (tamsil/ berpantun/ sanjak baris).
Sementara itu Umpasa ini, kian hari semakin jarang terdengar dan andung tak lagi hadir dalam peristiwa kematian. Inilah yang menjadi indikasi punahnya seni tutur “Batak” ini. Ada lima karya andung-andung yang ditulis oleh maestro opera “Batak” Tilhang Gultom yang sempat kami kumpulkan yaitu Andung-andung Ni Namarina Panoroni ( 1927 ), Andung-andung Nasopot so Marama so Marina ( 1928 ), Andung-andung ni natading maetek ( 1927 ), Andung-andung ni na so marianakhon ( 1967 ), Andung-andung ni si Boru Tumbaga ( 1930 ). Beberapa baris bait andung-andung tersebut ternyata cukup sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing lainnya. Seperti; Binutbut sibagure da inong, da marlotop sibongbong ari.
Atau; Boasa ma inong humatop ho, patambor silumuhut paugan situmalini , jika kita coba untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, hasilnya kira-kira: Mengapa Ibu begitu cepat, menjadi seonggok tanah berumput yang jadi penyubur tanah. Namun, kita juga menyadari bahwa terjemahan tadi hanyalah prakiraan saja, sebab impresi baris andung karya Tilhang Gultom tadi tak sepenuhnya dapat kita terjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Jika ingin memahami esensinya, terpaksa harus memahami bahasa “Batak” itu lebih dulu, bukan lewat terjemahan.
Andung-andung Si Boru Tumbaga dan sastra Batak kini.
Andung-andung sebenarnya memiliki makna yang lebih luas dari sekedar mangangguk bobar tangisan dan rintihan pilu. Seperti yang terjadi dalam pertunjukkan dan pameran kebudayaan yang diselenggarakan oleh pemkab Tobasa di Lapangan Sisingamangaraja, Balige, beberapa waktu yang lalu.
Boru Ginting, seorang pangandung yang naik ke atas panggung. Dia mengumandangkan Andung-andung Si Boru Tumbaga, seorang peniup seruling turut serta mengiringi “andung-andung” yang disuarakan boru Ginting itu. Kedua mata Ibu itu sedikit menutup, seakan tak terpengaruh suasana sekitar panggung. Para penonton hanyut oleh lembutnya alunan suara Ibu ini. Tak mau kehilangan momen, beberapa orang sibuk mendokumentasikan peristiwa langka tersebut. Dikatakan langka, karena masyarakat sudah jarang sekali mendengar andung seperti itu. Apalagi andung-andung Si Boru Tumbaga ini, dipertontonkan secara terbuka di depan publik, sebagaimana layaknya sebuah pertunjukkan. Peristiwa tersebut, sedikit banyak mengubah persepsi orang “Batak” yang kadung menganggap bahwa andung-andung hanyalah ratap tangis belaka. Bagi masyarakat di sana, istilah sastra mungkin masih jauh dari benak dan pemahaman mereka. Yang mereka tahu seni seperti ini sudah sangat jarang mereka dengar.
Andung-andung Si Boru Tumbaga, menuturkan dua orang gadis bersaudara yang tidak memikili Ito saudara laki-laki. Maka ketika ayahnya meninggal dunia, mereka diasingkan oleh keluarga pihak ayahnya sendiri. Yang lebih menyedihkan lagi, harta warisan yang seharusnya jatuh ketangan mereka, juga diambil saudara dari garis marga ayahnya. Karena kesedihan yang dalam, kedua gadis kakak beradik itupun, pergi ke dalam hutan untuk bersemedi. Disanalah mereka mang-andung-kan Si Boru Tumbaga.
Sebenarnya andung-andung Si Boru Tumbaga, pernah juga dimainkan Opera “Serindo” Tilhang Gultom dan Plot (pusat latihan opera batak) yang digembalakan Thomson H.S. Penafsiran naskah yang berangkat dari turi-turian ini tentu saja berbeda antara satu dan lainnya. Namun inti sari dan pesan yang mau disampaikan tetap sama, yakni keadilan dan persamaan hak bagi perempuan. Seperti yang kita ketahui, dalam budaya adat “Batak” sampai saat ini, masih diskriminatif terhadap perempuan. Khususnya dalam pembagian warisan. Sehingga muncul kekacauan dan tak ada lagi keadilan, karena ahli waris yang sesungguhnya telah disingkirkan, hanya karena alasan si pewaris itu adalah perempuan.
Para peneliti dan pemerhati budaya “Batak”, yang mencoba mendeskripsikan andung-andung dengan teori-teori sastra mereka, sebenarnya sudah benar namun mereka kurang gencar mensosialisasikan kajian dan temuan mereka. Dengan demikian, temuan mereka yang menyatakan bahwa andung-andung adalah seni suara yang mengutamakan bahasa kelembutan itu, kurang bersentuhan dengan masyarakat “Batak”. Baik itu yang berada di perantauan maupun di “Bona Pasogit”. Sirnanya kelembutan itu juga berdampak pada perilaku orang “Batak” sendiri. Tak heran perilaku orang sekarang menjadi sangat kasar dan verbal. Sebab bahasa batak yang digunakan saat ini adalah bahasa Batak yang sudah berevolusi alias dipangkas dari kelembutan sastra umpasa dan andung-andung.
Sementara menurut Monang Naipospos tokoh masyarakat Toba Samosir dan penggiat budaya Batak mengatakan, yang berkaitan dengan seni suara dan sastra Batak bukan cuma Andung-andung saja. Jauh sebelum Andung-andung digemari sudah ada Joing, Otis, Doding, Dideng juga Tumbas.

*Jeffar Lumban Gaol

Senin, 27 Juli 2009


Seorang gadis remaja penggembala kerbau sambil memikul ranting kayu di atas kepala.

"KE BAKKARA VIA PELABUHAN BALIGE"

“KE BAKKARA Via PELABUHAN BALIGE”

Berbicara mengenai danau Toba, semua orang tentu punya pengalaman sendiri-sendiri. Bagi mereka yang lahir dan tumbuh di Parapat, Porsea, Balige, Pangururan, Tomok, Tuk-tuk, Haranggaol, Tongging, Bakkara, Muara serta banyak lagi tempat-tampat lain di sekeliling danau itu, danau Toba tentu bukanlah hal yang asing. Sebab sejak kecil mereka sudah diperkenalkan, bahwa hamparan air yang luas itu adalah danau Toba. Namun bagi seorang anak yang masih duduk di bangku TK, yang mendapat pelajaran menggambar dan mewarnai, bahwa laut itu warnanya mesti biru. Bisa jadi anak tersebut beranggapan, bahwa Danau Toba adalah lautan, Saat pertama kali menatapnya.

Pengalaman yang sama dengan anak TK tadi, juga terjadi padaku. Waktu itu bulan Desember tahun 1969, bus yang kami tumpangi hampir memasuki Parapat, persisnya di atas Sibaganding. Saat pertama kali menatap hamparan air biru yang maha luas itu. Spontan aku bertanya” Mana kapal perangnya Namboru?” tanyaku pada Namboru yang duduk di sebelah, dia heran atas pertanyaanku itu. Namun dia segera sadar akan fantasiku yang berlebihan itu dan berkata, “inilah danau Toba, danaunya orang Batak,” katanya penuh pengertian, memahami kesalah pahamanku tesebut. Bisa kita bayangkan, betapa cemerlangnya warna biru yang menyelimuti danau Toba pada masa itu.

Toobaaa! Toobaaa! Tobaaa!” Teriak kernek bus dengan keras yang khas Batak, menyadarkan aku dari serpihan kenangan masa kecil itu. Awal dari perjalananku ke Bakkara yang akan ditempuh dengan kapal motor dari pelabuhan Balige. Mini bus yang kutumpangi sudah melitasi Tanjung Morawa. Aroma tak sedap datang menyerang indera penciumanku. Bau yang berasal di pabrik karet dan sawit itu untuk beberapa saat sempat jadi gangguan aku gelagapan dibuatnya. Sebab mini bus yang kutumpangi bukan kelas Ac, jadi jendela harus dibuka agar sirkulasi udara terjadi dan rasa panas sedikit berkurang. Aku hampir saja muntah akibat bau tak sedap itu.

Lewat kota Tebing Tinggi aroma bau itu mulai berkurang, dan akhirnya bisa menikmati perjalanan kelas Rp 46.000 bus Medan Raya Exspres itu. Setelah berhenti sejenak di Siantar dengan waktu istirahat cukup untuk makan dan minum. Mini bus L 300 melanjutkan perjalanan menuju Parapat lewat perluasan. Tak sampai sejam kemudian kami sudah sampai di atas Sibaganding. Tampaklah pemandangan danau Toba yang mempesona itu bersamaan dengan bertiupnya udara sejuk dari arah danau. Dari Parapat melewati lombang si Sera-sera sebelum akhirnya memasuki Huta Julu dan Porsea. Sebenarnya ada niat untuk menginap di Laguboti, namun karena kerabat yang di tuju juga sedang bepergian akhirnya kuputuskan untuk melewati Balige dan menginap di Siborong-borong di rumah keluarga Jery Marbun. Jery akhirnya turut menemani turun ke kembali Balige yang lebih dulu singgah ke Sopo Surung“ sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan menuju Bakkara. Perjalanan akan di tempuh dengan kapal kayu dari pelabuhan Balige.

Perjalanan menuju Bakkara.

Melalui informasi yang kami dapat Monang Naipospos saat bertemu di sebuah warung kopi di Balige, kapal biasanya berangkat jam tiga petang. Jadi kami hanya memiliki sedikit waktu untuk berbincang mengenai sastra Batak dan seputar aktivitas kebudayaan dan lingkungan hidup. Monang mengutarakan juga gagasannya membuat tour danau Toba untuk anak-anak usia sekolah dini di Kabupaten Toba Samosir .

Bagi Monang Naipospos, menanamkan cinta danau Toba, juga penting dilakukan bagi anak-anak di bonapasogit. “Danau toba bukan hanya untuk turisme,” kata Naipospos menutup pembicaraan. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 15:00 Aku dan Jery bergegas menuju pelabuhan. Kami terlambat, kapal sudah berangkat. Dari pelabuhan masih terlihat kapal tersebut berlayar dan menjauh dari Balige. Untunglah masih ada satu kapal lagi yang bersedia menghantar kami ke Bakkara.

Semula, nahkoda yang bermarga Nainggolan itu tak mau menaikkan kami, dengan alasan rute kapal hanya lewat Lottung dan Janji Raja dan bukan Bakkara. Kalau mau lewat Bakkara tarif limapuluh ribu rupiah per orang kata Nainggolan memberi tawaran. Tak menyia-nyiakan kesempatan itu aku langsung setuju. Di dalam kapal sudah ada (inang –inang) ibu-ibu pedagang yang duduk bergerombol di atas tikar sambil bercanda, mereka sangat bersahaja.

Saat distater mesin kapal kayu itu agak terbatuk-batuk, mungkin sudah tua. Namun akhirnya mesin kapal itu stabil. Kapal bergerak mundur, memutar balik haluan, lalu mengarungi perairan danau nan elok itu. Pelabuhan Balige semakin jauh tertinggal di belakang, sementara cakrawala berwarna biru cemerlang. Sejauh mata memandang, ada saja hal-hal yang menarik perhatian. Mungkin saja karena ini sebagai pengalaman pertama ku mengarungi rute danau ini. Menjelang kapal melintasi pulau si Bandang, Sepasang pengantin yang sejak awal ikut duduk bergerombol, membagi-bagikan roti bikuit kaleng yang mereka bawa. Ibu-ibu itu menawari kami roti biskuit itu sambil bertanya apa marga kami dan apa tujuannya ke Bakkara? Aku jawab sambil bercanda dan menolak dengan halus tawaran roti itu, karena lebih asyik memajakan mata dengan menikmati pemandangn yang menakjubkan di perairan tersebut. Kami melihat seorang nelayan tampak terapung dengan (solu) sampan tradisionalnya jauh di tengah danau. Tak memakan waktu kapal motor kayu “Beta” yang kami tumpangi persis berada di sisi pulau Sibandang yang berhadapan dengan Muara.

Di samping Pulau Samosir , Pulau Sibandang merupakan pulau terbesar kedua yang berada di perairan danau Toba. Penduduknya bertani dan nelayan. Perkampungannya tertata rapih mengikuti kontur tanah yang berbukit di pulau itu. Pulau Sibandang juga terkenal sebagai penghasil buah mangga besar dan tak mudah busuk.

Kapal motor “Beta” yang kami tumpangi sempat singgah di kampung Lottung, untuk menurunkan Penumpang. Hari semakin senja, dua puluh menit kemudian kami sampai di Bakkara waktu itu sudah jam 5:15. Aku dan Jery turun dari kapal ke dermaga kecil itu. Ternyata dermaga sudah bagian onan Bakkara . Hari itu memang bukan hari onnan, jadi sepi.

Kedatangan kami disambut gonggongan anjing, beberapa penduduk mengeluarkan kepala dari jendela menoleh kejalan. Mereka heran melihat kedatangan kami dari arah danau, suatu pemandangan yang kurang lazim. Beberapa orang tua yang berada di lapo menawarkan kami untuk singgah dulu untuk minum teh atau kopi. Kami pesan teh, setelah sedikit tanya jawab perjalanan dengan jalan kaki kami lanjutkan. Aku dan Jery melangkah mengikuti jalan lurus yang membelah Bakkara itu, hingga tiba di pertigaan, mendekati (Tombak) hutan Sulu-sulu. Menyadari tidak ada penginapan aku mulai gelisah karena tak ada tempat untuk bermalam. Akhirnya kami singgah lagi di sebuah warung dan memesan makanan seadanya. Kesempatan ini kami gunakan mencari informasi lebih banyak lagi, mengenai beberapa situs-situs di Bakkara. Beruntung sebuah bus yang mau kembali ke Dolok Sanggul datang. Hal ini membuat aku dan jery gembira, malam itu kami bisa kembali ke Dolok Sanggul.

Keesokan harinya, aku dan Jery kembali lagi ke Bakkara untuk mendatangi tempat-tempat bersejarah dan indah itu. Mulai dari Tombak Sulu-sulu, Hariara namar mutiha, Aek sipangolu dan tentu saja Istana Bakkara yang sudah mulai dipugar itu. Siang itu kami melihat anak-anak menikmati libur sekolah mereka dengan mandi-mandi di aek silang sebuah sungai yang membelah Bakkara. Bakkara adalah lembah tua, berada tepat di bibir danau Toba. Turis domestik pun jarang berkunjung ke Bakkara, apalagi turis asing, semakin lengkaplah perjalanan kali ini sebagai perjalanan yang bebas dari nilai komersialisasi. Bebas melangkah dan berjalan menyusuri kampung-kampung di sini. Mereka yang datang ke Bakkara umumnya adalah para peziarah. Jalan yang berat, curam dan berkelok membuat Bakkara yang indah tetap menyimpan misteri sejarah bangso Batak. Apabila Pustaha 24 jilid yang ditulis oleh Ompu Sohahuaon atau Sisingamangaraja XI yang ditulisnya dalam aksara Batak itu dikembalikan ke Bakkara, dimana Ompu Sohahuaon bersemayam, mungkin saja Bakkara akan memancarkan sinarnya kembali. Begitulah perjalanan kami sebagai pionir yang ingin mengajak setiap orang untuk singgah ke Bakkara, lewat pelabuhan Balige.
*Jeffar Lumban Gaol

Jumat, 24 Juli 2009

Photo galerie. Anak Petani


@Monang Naipospos Write:

Monang Naipospos

Sahabatku Jeffar Lumbangaol mengirimkan 3 buah photo via facebook kepadaku dengan judul ; “Seorang anak berlari mengejar ibunya di pematang sawah minta ikut panen padi”

Ada yang lebih megharukan hati melihat photo itu ketika mengenang masa kecil. Sudah dilarang jangan ikut, tapi diam-diam aku menyusul dari belakang. Setelah ada orang lain di pematang sawah menegur, ibunda lalu berpaling menegur berteriak agar aku pulang.

Ada yang mengesankan aku ketika ikut ke sawah, makan terasa enak dan bermain menangkap ikan kecil dari parit di sisi sawah. Dimasukkan dalam mangkok, walau akhirnya mati semua dan tidak dapat dimakan.

Ahhhh… teringat lagi ketika kami berkebon jahe di ladang yang jauhnya sekitar 6 kilometer dari rumah. Anakku yang kecil saat itu Togu Manata terpaksa diikutkan karena tidak ada yang mengawasinya dirumah. Di dalam kabin picup disuruh berdiam diri, namun selalu keluar dan berusaha menangkapi belalang, jatuh dan menangis.

Photo Jeffar ini mampu mengajak aku menerawang ke belakang saat masih kecil dan pada kondisi saya tetap jadi petani, membawa anak ikut keladang. Seogianya dia layak bermain dengan sebayanya di halaman rumah. Namun tidak tega karena dari pagi hingga larut malam baru pulang. Tidak tega bila tidak mengawasinya dari dekat.


ALAM "BAKKARA" Huta Marbun.

Kamis, 23 Juli 2009

“Musik sebagai media penyadaran”

“Musik sebagai media penyadaran”

“Musik sebagai media penyadaran”

Musik sebagai hiburan yang komersial, dengan mudah kita temukan dalam hidup sehari-hari. Masyarakat setiap hari dicekoki lagu-lagu yang diklaim sebagai hits di bursa musik nasional. Tiga bulan kemudian akan muncul lagi lagu baru yang menembus angka penjualan diatas satu juta copy. Lagu-lagu yang menjadi hits dipasar itu kemudian di pancarkan oleh berbagai stasiun televisi. Jaringan seluler/ provider juga menjual ring tone sebagai nada panggil. Bahkan ada lagu yang ditempelkan menjadi theme song pada sebuah sinetron. Menilik hal ini, seharusnya lagu-lagu hits itu akan abadi dan dikenang dalam ingatan masyarakat sepanjang masa. Sebab, selama tiga bulan lagu-lagu hits itu terus-menerus dikumandangkan di tengah-tengah sendi kehidupan masyarakat. Sebagaimana kita ketahui bahwa televisi sudah menjadi barang primer, sehingga masyarakat sampai tingkat pedesaan pun sudah bisa menikmatinya. Namun yang terjadi tidak demikian. Meskipun Lagu-lagu tersebut sudah berkumandang ditengah-tengah sendi kehidupan masyarakat, tetap saja dia akan menghilang dan cepat dilupakan orang. Mengapa demikian ?.

Industri musik nasional memang cukup menggiurkan. Banyak pemusik yang sukses dan bisa hidup mewah dari musik. Namun musik-musik yang menjadi hits itu tak bisa diharapkan memberi kontribusi atau sumbangan pada perubahan dan pendidikan masyarakat. Musik-musik hiburan justru membius masyarakat, karena sering-sering justru menjauhkan pendengarnya dari realita yang ada. Banyak pemusik yang pada mulanya menulis lirik-lirik berdasarkan realitas kehidupan yang nyata ditengah masyarakat, namun begitu mereka mendapat kesempatan masuk dapur dan diedarkan perusahaan besar, akhirnya mereka terjerumus pada thema percintaan yang menjadi ciri utama musik popular di negeri ini.

Disamping itu perkembangan teknologi rekaman yang memberi kemudahan dalam memproduksi musik, telah menyebabkan banjirnya produk musik yang dikemas dalam format CD, VCD dan DVD. Dengan demikian, masyarakat seolah-olah mempunyai banyak pilihan, padahal isi lirik dan thema yang diusung itu-itu juga, yakni percintaan remaja. Mengembangkan karir di jalur industri musik memang tidak selalu salah, sebagai contoh: Bagi remaja akhir 70an lagu “Kemarau” dari grup band Rollies sangat di gandrungi. Waktu itu pemanasan global rupanya sudah mulai di rasakan. Panas menyengat dan rerumputan yang kering rebah tak berdaya bukan hanya sebuah teks lirik. Namun suatu realita yang juga dapat dirasakan masyarakat luas. Oleh karena itu Kementrian lingkungan hidup pun akhirnya pada 1979 memberikan penghargaan Kalpataru pada grup band Rollies tersebut.

Hal yang cukup penting untuk kita cermati dari kejadian itu, adalah kepekaan Oetje F Tekol sebagai pencipta lagu “Kemarau” dalam memotret fenomena alam. Oetje mengangkatnya menjadi thema lingkungan hidup. Sebuah peristiwa yang dapat dirasakan semua orang.

Penyanyi sekaligus pencipta lagu Iwan Fals, pada masa itu sangat intensif menyuarakan potret dan realita sosial dalam masyarakat seperti lagu “Oemar Bakri” yang bercerita tentang nasib seorang guru yang jujur berbakti selama 40 tahun yang sudah melahirkan Insinyur dan Menteri tapi tetap makan hati dan dikebiri.

Ketika aktifvis HAM Munir terbunuh pun Iwan Fals masih tetap konsisten memotret kejadian tersebut sebagai realita sosial. Dia menulis lagu “Pulanglah” yang dipersembahkan bagi pejuang kemanusiaan itu. Mari kita simak lirik lagu Pulanglah tersebut.

“Pulanglah”

Padi menguning tinggal dipanen

Bening air dari gunung

Ada juga yang kekeringan karena kemarau

Semilir angin perubahan

Langit mendung kemerahan

Pulanglah kitari lembah persawahan

Selamat jalan pahlawanku

Pejuang yang dermawan

Kau pergi saat dibutuhkan saat dibutuhkan

Keberanianmu mengilhami jutaan hati

Kecerdasan dan kesederhanaanmu

Jadi impian

Pergilah pergi dengan ceria

Sebab kau tak sia-sia

Tak sia-sia

Tak sia-sia

Pergilah kawan

Pendekar

Satu hilang seribu terbilang

Patah tumbuh hilang berganti

Terimalah sekedar kembang

Dan doa-doa

Suci sejati

Suci sejati

Radio 68h yang sekarang menjadi Green radio pun ikut meluncurkan album kompilasi untuk Munir. Namun sangat disayangkan, mereka gagal menggalang dukungan dari berbagai lapisan masyarakat dan akhirnya terjebak pada sifat komersialisasi.

Sementara itu grup band Slank yang bermarkas di gang Potlot Tebet Jakarta Selatan, adalah sebuah grup band yang besar karena mereka berkeyakinan kalau membuat musik itu harus merdeka dari intervensi produser.

Album-album Slank memang diproduksi sendiri, dengan label pulau biru mereka selalu meraih sukses dalam penjualan produk. Grup yang dipimpin Kaka dan Bibim ini pernah membuat kuping para anggota DPR kepanasan, bahkan dewan kehormatan DPR berniat memprapengadilankan Slank lantaran lagu mereka yang berjudul “Gosip Jalanan” terdapat dalam Album “Plur”, diproduksi tahun 2005. Lagu itu sebenarnya berisi gosip biasa yang sering kita dengar dalam pembicaraan sehari-hari. Seperti DPR adalah pembuat uud… ujung-ujungnya duit.. dan seterusnya.

Namun semangat komersial, rupanya tidak selalu menjadi alasan utama orang untuk menciptakan sebuah musik. Beberapa komponis justru menulis musik untuk gerakan kebangsaan dan perlawanan. Tak sedikitpun dalam benak mereka, ada niat untuk membuat musik yang laku dijual dan membuat mereka jadi kaya raya. Mereka membuat musik memang sesuai dengan keinginan hati dan keprihatinan mereka pada realita yang ada, maka dari itu karya-karya mereka selalu berkumandang pada moment-moment khusus dan menentukan perjalanan bangsa. Seperti ketika runtuhnya rezim Orde baru pada tahun 1998. Pada waktu itu lagu-lagu yang menggugah rasa kebangsaan dari karya-karya komponis nasional. Seperti lagu Indonesia Raya/ karya WR Soepratman Bangun Pemuda Pemudi/ karya Alfred Simanjuntak, Syukur/ karya H Mutahar telah ikut andil menyemangati barisan mahasiswa. Diantaranya terselip sebuah lagu yang berjudul Darah Juang karya John Sonny Tobing.

Seperti dalam Pulanglah karya Iwan Fals di atas, lagu “Darah Juang” ini juga menggunakan kata padi dalam liriknya, sebagai simbol untuk menggambarkan masih adanya harapan dan kehidupan yang lebih baik dimasa mendatang apabila ada perubahan yang kesadarannya dimulai dari indvidu ke komunitas baru kemudian ke masyrakat yang lebih luas lagi. Mari kita simak lirik lagu Darah Juang itu.

Darah Juang

Di sini negri kami

Tempat padi terhampar

Samudranya kaya raya

Negri kami subur Tuhan.

Di negri permai ini

Berjuta rakyat tertindas luka

Anak buruh tak sekolah

Pemuda desa tak kerja

Mereka dirampas haknya

Tergusur dan lapar

Bunda relakan darah juang kami

Pada kami berjanji

Padamu kami berjanji 2X

Dalam penulisan lirik John Sonny Tobing bekerja sama dengan Andi Munajat, sesama mahasiswa Fakultas Sastra jurusan Filsafat Unifersitas Gajah mada, yang sungguh prihatin atas kondisi ekonomi sosial masyarakat disekitar mereka pada saat itu dan mereka berdua menginginkan perubahan.

Merekam sebuah moment dan menghindarkan thema percintaan yang dangkal sebenarnya sudah lama dilakukan oleh pemusik-pemusik yang mengedepankan musik sebagai media penyadaran, pembelajaran dan pembebasan. Musik-musik seperti ini memang bebas dari sifat komersial. Mereka membangun basis di tingkat masyarakat pada lapisan paling bawah. Para seniman yang berkarya dengan semangat penyadaran, pembelajaran dan pembebasan cukup banyak. Tersebutlah Wiji Thukul yang selalu membuka pembacaan puisinya dengan lagu, Apa guna dan Sungguh enak hidup di televisi. Syafei Kemamang yang lahir di Lamongan Jawa Timur itu menciptakan Mars Revolisi dan Mars buruh tani. Sementara LoNtaR band, grup musik yang dibangun oleh Bimo Petrus dan kawan-kawannya di universitas Airlangga Surabaya. Dalam catatan Kontras Bomo Petrus dan Wiji Thukul masuk dalam daftar orang hilang. David dan Kris meneruskan aktifitas Lontar, mereka banyak menciptakan lagu antara lain Simarsi (nah), Indonesia (C ) emas, Mana buku dan guruku.

Kepal SPI (serikat pengamen Indonesia) yang di pimpin oleh I Bob menyumbangkan lagu Turun ke jalan dan masih banyak lagi lagu mereka yang lain.

Marjinal adalah kelompok musik Punk yang digerakkan oleh Mike dan Bobby. Grup ini cukup disegani oleh sesama kelompok Punk dan underground lainnya. Kemanapun marjinal bergerak pentas, selagi masih bisa dijangkau anak-anak Punk pendukung mereka, selalu hadir di sana. Sebagai contoh, misalkan Marjinal diundang main di kota Tegal, dapat dipastikan kota Tegal akan dibanjiri anak-anak Punk yang datang kesana untuk menonton pertunjukkan mereka. Marjinal memang mempunyai lagu-lagu dengan lirik realis, oleh karena itu cepat akrab serta mudah dihapal oleh fans mereka. Lagu meraka yang cukup populer dan di kenal luas seantero Jawa dan Sumatra antara lain lagu Hukum dan Marsinah.

Black boots & Taring Padi juga melahirkan lagu Revolusi kebudayaan dan Lawanlah. Meskipun Taring Padi merupakan komunitas pelukis namun rupanya hal itu tak menghambat mereka untuk ikut melahirkan musik-musik yang mencerahkan rakyat.

Dalam ranah musik Reggae di Yogyakarta, telah lahir Indonesia Reggae Community, mewadahi 18 grup Reggae, diantaranya Kupurasta, Rastamof, The Pineappleas dan Jogjamania. Mereka bertekad mengumandangkan suara rakyat kecil, lewat musik Reggae. Sementara itu Red flag band, grup Reggae yang bedomisili di Lampung sudah meluncurkan album. Lagu-lagu mereka antara lain Buruh tani, Fight For Socialism, G/28/S/TNI. Grup Reggae Lokal Ambiance yang di motori Mogan Pasaribu, Deni Siregar, Rico Hasibuan melahirkan lagu Petani, Such of my life, Tree Angle Question dan memasukkan lagu Rakyat bersatu dalam Album mereka.

Lagu “Rakyat Bersatu”

Menurut penuturan beberapa sumber, lagu Rakyat Bersatu adalah dua potong lagu yang disatukan.

Bagian pertama diambil dari lagu Rakyat Merdeka yang ditulis oleh seorang pelukis yakni Yayak Kencrit Yatmika, seorang pelukis yang banyak menciptakan lagu dan lirik.

Bagian kedua diambil dari lagu Pasti Menang yang ditulis oleh David Kris yang pernah diculik, namun masih beruntung karena dia dilepaskan oleh para penculiknya, sementara kawan-kawan lainnya mengalami nasib nahas sampai saat ini tidak diketahui keberadaanya.

Sementara Yayak Yatmika, semasa pemerintahan rezim Orde Baru, terpaksa bermukim di kota Koln Jerman. Saat itu dia tidak bisa pulang ke Indonesia karena sakit. Menurut diagnosa dokternya disana, penyakit Yayak akan kambuh dan bisa berakibat fatal bila berhadapan dengan birokrasi Orde Baru. Maka dokter tersebut tidak memperkenankanya untuk pulang ke tanah air, serta membuat surat tembusan pada organisasi Amnesty Internasional disana, agar meberikan dukungan untuk mendapatkan izin tinggal di sana.

Waktu itu Yayak sangat menderita, karena lagu yang dibuatnya itu sangat serius dan rencananya akan di ajarkan pada anak-anak Pro Demokrasi di dalam negeri, namun dia tidak dapat pulang ke tanah air. Pada tahun 1996 seorang kawan yang sedang berkunjung ke Jerman berkesempatan singgah ke flatz tempat tinggal Yayak. Dia pun tak menyia-nyakan kesempatan tersebut, lagu yang sudah diciptakannya itu dititipkan, agar dapat diajarkan dan disebarkan di dalam negeri. Tentu hanya lewat ingatan serta sedikit catatan. Setelah pulang ke tanah air, sahabat Yayak itu ternyata punya gagasan lain. Hal ini terjadi karena di kota Jogya dan Solo dia menemukan bahwa lagu karangan David Kris dengan judul “Pasti menang” pada bagian reff lagu itu, ternyata menggunakan melodi dan lirik yang sama persis, seperti: Pasti menang harus menang, rakyat berjuang. Pasti menang harus menang rakyat merdeka. Bagi sang sahabat yang dititipkan pesan untuk memperkenalkan lagu itu, menyadari hal tersebut adalah sebuah kekayaan dan tak mau hanyut mempersoalkan hal-hal kecil. Baginya yang terpenting adalah bagaimana agar kedua lagu tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh dan kuat. Maka kedua lagu digabungkan, tentu dengan sedikit perbaikan pada lirik dan kord, sehingga bentuknya lengkap seperti di bawah ini:

“Rakyat Bersatu”

Satukanlah dirimu semua

Seluruh rakyat senasib serasa

Susah senang dirasa sama

Bangun-bangun segera

Satukanlah gerai jemarimu

Kepalkanlah dan jadikan tinju

Bara lapar jadikan palu

Tuk pukul lawan tak perlu meragu

Reff Pasti menang harus menang

Rakyat berjuang

Pasti menang harus menang

Rakyat merdeka

Hari terus berganti

Haruskah kalah lagi

Sang penindas harus pergi

Untuk hari esok

Yang lebih baik

back ke Reff:

Jangan mau ditindas

Jangan mau di jajah

Jiwa dan fikiran kita

Untuk hari esok

Yang lebih baik

back ke Reff // coda:

Lagu Rakyat Bersatu ini tercatat di Lipi sebagai lagu yang ikut menyemangati barisan mahasiswa dalam demo-demo tahun 1998. Kalau kita simak ketiga lirik lagu diatas tentu sangat berbeda dengan lirik lagu-lagu popular yang setiap hari hadir di layar kaca stasiun televisi. Ketiga lagu diatas mempunyai visi penyadaran dan perlawanan. Karena itu apabila ada orang yang dapat merasakan dan menghayati ketiga lagu tersebut maka lagu itu akan menjadi abadi dan tak akan pernah luntur dari memori mereka. Disinilah kekuatan lirik yang mengedepankan cinta pada thema kemanusian dari pada melulu terhadap lawan jenis saja.

Jeffar Lumban Gaol

Festival Budaya (GONDANG BATAK)



Menyoal “GONDANG BATAK” melirik “ ANGKLUNG BALI”

Menyoal GONDANG BATAK melirikANGKLUNG BALI

Festival Budaya

Belum lama berselang, Bali Art Festival/BAF {Pesta Seni Bali} pertengahan Juni/Juli 2008 hampir bersamaan dengan, pelaksanaan dimulainya Festival Danau Toba{FDT} Juli 2008. Dua peristiwa budaya yang dapat diharapkan memulihkan dunia Parawisata tersebut, bisa dikatakan sama-sama gagal dalam mendatangkan turis.{mungkin karena dikelola pemda}. Maka, tidak ada salahnya kalau kita mencermati kedua peristiwa budaya tersebut, sebagai bahan kajian dan perenungan. Perenungan bagi kita orang Batak yang hanya bisa jadi penonton di kejauhan, maupun orang Batak yang menonton secara langsung, atau lewat berita koran dan televisi.

Mengamati peristiwa Festival Danau Toba {FDT} itu juga, telah mengundang banyak komentar miring, dari para Budayawan dan pemerhati kebudayaan Batak. Namun sudah bisa kita memprediksi, bahwa opini-opini mereka yang kritis terhadap FDT ini, mungkin dianggap angin lalu saja oleh panitia, dan sudah seharusnya ada session untuk mempertanggung jawabkannya. Agar kedepan FDT tidak lagi melakukan kesalahan yang sama, seperti halnya pelaksanaan FDT 10 tahunan yang lalu, yaitu jalan sendiri tanpa pernah memeriksa, berbagai kajian dari para budayawan, maupun pemerhati seni dan budaya Batak itu sendiri. Atau bila perlu mengundang juga para ahli untuk diminta pendapatnya. Akan tetapi panitia mungkin menganggap kritik tersebut tidak penting, yang penting adalah, proyek Pemda ini sudah selesai dan tutup buku.

Lantas apa yang bisa diharapkan dari sebuah FDT yang tingkat Profesionalitasnya sudah sama-sama kita saksikan tersebut? Apalagi kalau panitia yang bertanggung jawab, tak memberi ruang untuk bertukar fikiran, demi memajukan FDT itu dimasa yang akan datang. Tentu masih banyak lagi kritikan yang tidak muncul kepermukaan, namun ada juga pertanyaan cukup menarik, menyoal Festival Gondang umpamanya.

FestivalGondang Sabangunan”

Bukankah FDT juga sudah seharusnya menampilkan Festival Gondang ?. Kalau bukan FDT, siapa lagi yang dapat diharapkan menjadi pelestari kebudayaan Batak tersebut ? Festival yang dimaksud disini, adalah sebuah pesta untuk menyatukan persepsi, sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa musik Gondang Batak telah mengalami stagnasi yang cenderung mendekati kepunahan. Bahkan ada kesimpang-siuran dalam memetakan Gondang na pitu {tujuh nomor Gondang Sabangunan yang menjadi dasar-dasar gondang Batak}. Hal ini terjadi disebabkan karena berbagai kondisi. Pertama karena tidak ada lagi pesta Bius. Padahal pada masa lampau, Pesta Bius telah menjadi tempat bernaung bagi Gondang Sabangunan, dimana upacara Bius menjadi wadah bagi pertumbuhan dan perkembangan Gondang itu sendiri . Disamping itu, semakin hari semakin sedikit saja orang Batak, yang mencapai strata Saur Matua dan kalaupun ada, keluarganya belum tentu mau membunyikan Gondang Sabangunan.

Mereka juga tentu, mempunyai alasan tersendiri, seperti anggapan bahwa menabuh Gondang adalah praktek sipele begu, yang sama dengan kafir. Atau juga mungkin karena masalah keuangan. Melihat fakta-fakta demikian, dapatlah kita menarik kesimpulan, bahwa Gondang Batak memang sangat membutuhkan wadah tempatnya untuk hidup dan berkembang. Wajar saja kalau ada yang mempertanyakan visi dan misi FDT, dalam hal melestarikan Gondang.

Apakah Gondang yang telah menggerakkan denyut jantung Budaya “Dalihan na Tolu” {tiga tungku yang menjadi relasi marga-marga} Ompung-Ompungnya {Leluhur} orang Batak tersebut, hanya menjadi etalase FDT saja ?

Festival Gondang Sabangunan & Gondang Hasapi harus masuk dalam program agenda kerja FDT.Alasannya, karena Gondang juga, sama halnya dengan Danau Toba, yaitu identik dengan suku Batak. Dalam Festival Gondang ini,{kalau kelak itu terjadi} juga tidak diperlukan pemenang atau juara, karena Festival ini bukan perlombaan. Semua saja Grup Gondang di Bona Pasogit, {kampung halaman} maupun di tano parserakan, {perantauan}Medan, Riau, Lampung, Jakarta, Bandung, Surabaya, Sekolah Gondang Laguboti. Siswa binaan Irwansyah Harahap juga, harus turut diundang untuk berpartisipasi merayakan pesta tersebut. Disanalah mereka berkenalan, saling merekam, mungkin juga mereka sudah sejak lama saling kenal. Kemudian dalam kesempatan seperti itu, adalah wacana untuk bertukar fikiran, juga menjadi wacana untuk bermain musik bersama lagi {reuni}. Ada banyak hal positif, yang akan tumbuh dalam peristiwa budaya tersebut. Hal inilah sebenarnya yang kurang mendapat perhatian, dari para pemuka adat dan pengambil keputusan di tingkat daerah. Bahwa sudah seharusnyalah Gondang terkait dengan pelestarian Danau Toba. Sebab sebagaimana layaknya menanam pohon, haruslah dengan {Hinita,“Piso ni Gondang”} maminta Gondang, kemudian di palulah Ogung {gong}, maka seantero masyarakat Bona pasogit pun menanam pohon sambil manortor, tamu pun akan banyak datang.

Pertanyaan kedua; Sebenarnya begitu banyak orang Batak, punya pemikiran/ gagasan dan konsep budaya yang baik, justru disambut oleh kelompok budaya lain. Adakah ini sebagai sebuah fenomena yang umum, bagi orang Batak perantauan yang tercerabut dari rootsnya ?{akarnya}.

Contohnya konsep Kebudayaan dari G.R. Lono Lastoro Simatupang {Budaya sebagai strategi dan strategi budaya tahun 2000) yang dikutip oleh Ibed Surgana Yuga dalam mengevaluasi BAF 2008. dan mengapa tidak ada membuat

Peluang dan Batas

Dalam ulasan Simatupang tersebut menyatakan bahwa dalam pergaulan global, terutama yang berhubungan dengan seni pertunjukan Indonesia, dimana suatu wilayah budaya harus memberlakukan strategi yang tepat. Menurutnya, globalisasi memberikan dua paradoks pada seni pertunjukan, yaitu peluang dan batas. Kedua hal inilah yang mesti dihadapi dengan strategi, sehingga peluang tidak terlalu kebablasan atau tanpa batas dapat dihindari, sebab batasan itu sendiri tidak untuk mematikan kreatifitas atau membatasinya dengan begitu ketat, yang mencitrakan stagnasi.

G.R. Lono Lastoro Simatupang sendiri berpendapat bahwa “Bali”, adalah contoh yang tepat dalam menjalankan strategi ini, sebab di Bali “terdapat kesupelan dan sekaligus keketatan, yang terlihat dalam komprominya terhadap berbagai pengaruh, termasuk pengaruh yang datang dari luar Bali, namun tetap memegang inti sari budayanya dengan erat. Sebagai contohnya adalah Angklung Bali, yang turut ditampilkan dalam Festival Seni Budaya Bali 2008 yang baru lalu. Angklung yang dimaksud disini bukanlah seperti yang umum dikenal orang, yaitu intrumen musik dari bambu{Sunda}.

Angklung Bali adalah Gamelan dalam golongan “Barungan Madya”. Di selatan Bali dengan bilah 4 nada sedangkan di Bali utara 5 nada keduanya dalam pentatonik/ {selendro cina}/ bilah-bilah gamelan terbuat dari logam kuningan murni, dipalu dengan sebuah alat pemukul {stick}yang menyerupai martil, bahan dari kayu.

Dalam tabuhan klasik Gamelan Bali, angklung ini dianggap sebagai cikal bakal dari Gamelan Gong Kebyar, Angklung biasanya digunakan untuk mengiringi ritual Panca Yadnya, adalah 5 upacara suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu Bali dalam mencapai kesempurnaan hidup.

Mulai dari Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Wedana, Manusia Yadnya, Resi Yadnya.

Dengan kata lain, Gamelan Angklung memegang peran penting dalam upacara Adat dan keagamaan Hindu di Bali. Seperti upacara Ngaben, Ngasti. Penelitian STSI Denpasar mencatat ada 15 repetoar klasik dalam ranah Gamelan Angklung Bali, yang sampai kini terus di jaga kelestariannya dalam upacara Manusia Yadya didukung oleh semua Banjar di Bali sebagai lembaga adat {Banjar mirip dengan Bius dalam Batak}. Oleh karena itu, bolehlah kita mencoba menyandingkan keberadaan gamelan Bali tersebut, dengan keberadaan Gondang Batak dalam tatanan budaya Batak kontemporer{sekarang/kini}.

Mungkin, hal ini akan membuat pembaca akan bertanya-tanya, apa perlunya kita mengulas Angklung Bali dengan Gondang Batak ? tuning dan modal nadanya kan berbeda ?, atau dari mana memulainya ?. Toh Gondang juga cukup bermartabat, dimana Gondang juga memiliki fungsi yang hampir sama dalam adat budaya Batak, antara lain Mengokkal holi/ saring-saring {mengangkat tulang belulang}, Sari matua/Saur matua {mencapai umur yang tua dan berketurunan}. Justru karena fungsi dari dua bentuk ensambel musik tradisi inilah, yang menjadi topik bahasan kita. Keduanya mempunyai peran yang sama-sama penting, dalam upacara yang bertujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup. Juga sama-sama pentatonis, meski mempunyai tuning dan modal nada/frekwensi hertz yang berbeda.

Angklung Bali menjadi Gebyar

Gamelan Angklung adalah gamelan, dimana kelahirannya lebih dulu ketimbang Gamelan Gong Kebyar, yang kini lebih banyak tampil dalam prosesi adat dan budaya Bali. Sementara itu, Gamelan Angklung tampil dalam upacara keagamaan saja, seperti yang sudah dipaparkan di atas tadi.

Dalam Bali Art Festival 2008 yang lalu, telah ditampilkan kreasi baru dari Angklung Bali tersebut, yakni “Angklung Kebyar”. Kebyar disini, maksudnya adalah lebih gempita/ menggelegar.

Ada penambahan instrumen cymbal {ceng-ceng gede}, instrumen yang biasanya di pakai untuk Blaganjuran {semacam musik untuk prosesi juga, namun didominasi gema Gong dan rampak gendang Bali}, dinamikanya juga dimainkan lebih keras dan enerjik.

Demikianlah perbedaan yang terlihat secara umun, antara Angklung Madya dan Angklung Gebyar. Soal kreasi, adalah soal yang lain lagi. Hal ini tentu saja sangat bergantung pada kreativitas sekhe {grup}peserta.

Menurut I Wayan Sadra, seorang putra Bali yang menjadi staff pengajar di STSI Surakarta {Solo}. Kebudayaan Bali memang erat hubungannya dengan “Desa Kala Patra” (ruang, waktu dan keadaan} artinya, budaya Bali memang selalu beradaptasi dengan kondisi jaman. Musik yang tadinya diperuntukkan untuk upacara, bisa saja ditampilkan untuk hal-hal lain, asalkan sajen {syarat-syarat} untuk hal tersebut sudah terpenuhi. Bagi I Wayan Sadra, gamelan kreasi baru maupun klasik bukanlah masalah penting, karena yang paling penting adalah, kepekaan dalam melihat perbedaan. Perbedaan mana itu yang klasik dan mana itu yang kreasi baru. Pendapat I Wayan Sadra ini, sebenarnya mewakili pandangan umum orang Bali juga, dalam menyikapi perkembangan budaya Bali. Sejak Walter Spies berhasil mencangkokkan sendratari Rama & Shinta, dalam tari Kecak pada tahun 30an, telah tumbuh kesadaran pada masyarakat Bali, akan pentingnya arti sebuah Festival Gamelan. Maka sejak itu di Pulau Bali, marak dengan berbagai Festival budaya.

Pada tahun 1971, telah dilangsungakn sebuah seminar mengenai kebudayaan Bali.

Seminar tersebut dihadiri para seniman, budayawan dan cendikiawan Bali. Dari mereka diharapkan bisa memberi masukan untuk mencermati, sejauh manakah toleransi budaya Bali, bisa menerima pengaruh budaya lain atau asing. Dalam hal ini, kita sudah dapat membuat kesimpulan, bahwa sejak lama tetua-tetua adat Bali, selalu mempertimbangkan secara masak-masak, langkah-langkah apa yang harus diambil dalam rangka mengantisipasi perkembangan jaman. Seperti yang diungkapkan oleh Simatupang di atas tadi, bahwa budaya Bali memang kompromistik, akan tetapi di sisi yang lain masih memegang erat inti sari dari kebudayaannya. Tanpa bermaksud mengenyampingkan niat baik dari pemda Bali, sebagai pengelola Bali Arts Festival, tampaknya turis asing itu datang berbondong-bondong, justru pada saat BAF sudah berakhir. Untunglah ada dua upacara ngaben massal, yang dilakukan oleh Puri Ubud Gianyar dan Karang Asem. Media cetak ibu kota turut juga mengirim jurnalisnya untuk meliput upacara itu. Ubud diberitakan penuh sesak, kekurangan kamar bagi turis manca negara yang datang demi menyaksikan Upacara tersebut. Bisa jadi turis-turis asing itu, memang datang untuk Odalan {upacara Manusa Yadnya}, bukan untuk BAF.

“Pendataan dan Dokumentasi Gondang

Pada tahun 2002 di Taman Mini Indonesia Indah, diadakanlah sebuah “Festival Gondang Batak”. Festival ini diorganisir oleh Grup Gondang “Batara Guru”, diikuti peserta sebanyak 12 grup. Sesudah itu, dilanjutkan lagi pada tahun 2006. “Batara Guru” bekerja sama dengan suku dinas kebudayaan DKI Jakarta.

Sebagai pelaksana Festival Gondang yang mengambil tempat di Taman Ismail Marzuki {PKJ TIM}itu, diikuti peserta yang hanya bermukim di Jakarta dan sekitarnya saja.

Namun sangat disayangkan, Festival tersebut belum mampu mendongkrak

permasalahan Gondang menjadi isu masyarakat masih terjebak dalam semangat perlombaan, sehingga tidak mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan, yaitu menyatukan persepsi tabuhan Gondang. Gagasan ini memang jitu, sebab hanya sebuah Festival Gondang yang baiklah, diharapkan mampu menjadi wadah untuk mengkumandangkan keberadaan Gondang yang kritis di tingkat adat, namun dahsyat dan dinamis meski repetitip {banyak pengulangan} konon turut menghidupkan tor-tor dalam dinamika Adat Dalihan na Tolu. Jadi percuma saja kita berteriak-teriak, minta perhatian Batak agar memberdayakan Gondang, karena kini kedudukannya dalam Adat Batak sendiri-pun sudah mulai disingkirkan. Disadari atau tidak, nyatanya dalam Adat Dalihan Na Tolu, Gondang Batak tidak eksis lagi seperti yang umum kita lihat dalam pesta-pesta adat Batak saat ini, pada adat Perkawinan dan Manggarar adat. Yang lebih mengenaskan lagi dalam pelaksanaan adat Saur Matua, musik yang digunakan dalam pelaksanaan adat itu kini lebih banyak menggunakan jasa musik brass {tiup} organ tunggal dan poco-poco. Ironis memang, karena pada saat segelintir masyarakat mulai menyadari, bahwa kondisi dan keberadaan Gondang Batak ini, dalam keadaan kritis, mereka tidak mendapat dukungan yang cukup.

Akhir-akhir ini memang ada kabar yang cukup menggembirakan, yaitu pendokumentasian Gondang Batak. Pada mulanya, kegiatan ini diprakarsai hanya beberapa orang saja, mereka adalah orang-orang yang perduli dan prihatin akan kondisi serta keberadaan Gondang yang luhur, namun terancam punah itu. Maka dianggap perlulah, membuat proyek Dokumentasi dari repertoar-repertoar Gondang Batak tersebut, dalam bentuk pendataan audio visual, berikut Tutorialnya. Dengan tujuan agar generasi muda Batak dimasa yang akan datang, tidak hanya tahu Gondang Batak itu hanya lewat dongeng belaka. Bagi Monang Naipospos, Suhunan Situmorang maupun Charlie Sianipar, Viky Sianipar dan kawan-kawan tentu ini adalah sebuah pekerjaan besar, yang memerlukan dukungan dari segenap putra-putri Batak, baik itu dari perantauan maupun di Bona pasogit {kampung halaman}. Pendokumentasian Gondang, adalah pekerjaan besar untuk mengantisipasi punahnya Gondang dari muka bumi ini. Sehingga, kalau kepunahan itu benar terjadi, kita masih punya data-datanya. Data inilah yang akan diwariskan kepada anak cucu kita nantinya. Walaupun demikian, pekerjaan besar ini masih menyisakan pertanyaan, menyangkut Gondang na Pitu { tujuh dasar-dasar Gondang Sabangunan}. Umpamanya, sebagai dasar-dasar Gondang Sabangunan, apakah Sampur Marmeme dan Sampur Marorot termasuk dalam golongan Gondang Na Pitu ? mengenai hal ini, ada baiknya didiskusikan dulu dengan basis-basis yang berkaitan dengan Gondang Batak. Terutama dengan Pargosi-pargonsi dari berbagai basis Bius {kumpulan marga-marga}masa lalu, yang menyebar ke Parserakan {perantauan}. Sebab, menurut beberapa sumber yang bisa dipercaya, Sampur Marmeme dan Sampur Marorot belum lagi atau bukan termasuk dalam Gondang na Pitu. Bisa jadi Tonggo-Tonggo {mantra}pun dianggap sama sebagai goar-goar ni gondang.

Kita bisa membayangkan, seberapa jauhkah variasi dari Gondang itu bisa dieksplorasi, menjadi komposisi-komposisi seperti goar-goar ni gondang yang berjumlah ratusan tersebut ?.

Bagaimana nantinya para Pargonsi menghapalkan perbedaan-perbedan setiap gondang tersebut ?. Dalam Gondang Hasapi memang agak sedikit jelas adanya perbedaan antara komposisi yang satu dan yang lain. Berbicara mengenai belajar Gondang, ada beberapa catatan yang cukup unik.

Menurut pengakuan beberapa Pargonsi {para musisi gondang}seperti Almarhum AWK Samosir, pernah membuat pernyataan bahwa kemampuannya bermain hasapi itu{intrumen petik dengan dua senar}didapatnya melalui mimpi.

Pengalaman Tarsan Simamora juga mirip seperti itu, yakni mata guru, roha sisean {mata memandu, hati merasakan}, sedangkan pengalaman Manogang Siahaan lain lagi, baginya seseorang yang ingin belajar menjadi pargonsi, ada juga cara melalui bimbingan, dari orang tua yang tahu Tonggonya {Doanya}.

Pernah sekali waktu, Ketika Manogang Siahaan masih di kampung dulu, menyaksikan seorang petani muda yang tak pernah belajar Gondang, diminta ikut oleh seorang yang sudah dituakan, untuk meniup Sarune bolon (instrumen tiup kayu dengan rit bambu, diikat benang} dalam sebuah upacara Parmalim di desanya Panamparan {dekat Sigura-gura}. Orang tua tersebut telah terpaksa menggunakan pemuda itu sebagai mediumnya, karena pargonsi-pargonsi {musisi gondang} lainnya telah pergi meninggalkan desa ke kota, sehingga dia tak punya pilihan lain. Orang tua itu, kemudian memohon melalui Piso ni Gondang/ Hinita Gondang {meminta Gondang}dan Tonggo-tonggo tu Mulajadi na Bolon {doa puja sembah Dewata}agar membimbing mereka dan pemuda itu dalam melaksanakan upacara tersebut. Sejak saat itu, sang petani muda pun mulai menunjukkan bakatnya yang terpendam sebagai Pargonsi. Kisah ini, dituturkan oleh Manogang Siahaan, dia adalah seorang pendiri Grup GondangDalihan na Tolu” yang bermarkas di bilangan Cibubur Jakarta Timur. Dalam hal ini Gondang Batak memang memiliki nuansa atau atmosfir yang sulit kita pelajari, sebab kuping kita mungkin, telah lebih terbiasa dimanjakan oleh melodi-melodi yang bergerak dengan pola yang menjelajahi banyak nada dan achord yang berbeda. Disamping itu, kita juga sudah jarang punya kesempatan mendengar dan menyaksikan Gondang Sabangunan secara langsung. Musik nan ritmis, dinamis, repetitip {pengulangan}, juga dapat disebut penta tonik empat nada yang terkesan monoton, bagi kuping orang awam, biasanya sangat sulit untuk menangkap perbedaan form bunyi antara Gondang yang satu dan lainnya. Bagi mereka, bentuknya sama saja. Jadi, kalau Gondang Sabangunan sebagai sebuah ensambel

musik sakral, serta melihat uraian-uraian yang sudah dikemukakan di atas tadi, jika Gondang Sabangunan tidak mendapatkan tempatnya lagi dalam adat Dalihan na Tolu, seperti Tubu, Mangoli, Saur Matua, Mangokkal holi-holi/saring-saring {lahir, menikah, wafat dan berketurunan, mengangkat tulang-belulang, dimana kedudukan tiga tungku Boru, Dongan tubu, dan Hula-hula berfungsi, nampaknya Gondang Sabangunan segera akan dilupakan orang. Gondang Batak ini mengalami kondisi yang berbeda dengan Angklung Bali.

Angklung Bali masih tetap berfungsi dalam wadah upacara Manusa Yadnya meskipun sudah ada kreasi-kreasi baru, seperti Angklung Kebyar yang sudah tampil dalam BAF 08 tersebut. Namun perlu kita ingat sekali lagi, bahwa turis tidak datang untuk menyaksikan BAF. Lagi-lagi turis datang untuk sebuah Ngaben Besar di Ubud dan Karang Asem Bali. Disanalah Angklung mengemban tugasnya bersama Blaganjur mengawal prosesi Upacara massal, disaksikan oleh segenap warga Bali dan turis manca negara. Kalau ada pertanyaan, mengapa turis tidak datang ke Danau Toba ?, padahal sudah dibuatkan sebuah Festival untuk memikat turis. Jawabnya karena FDT tidak menampilkan Gondang Sabagunan, dalam sebuah upacara adat Dalihan na Tolu yang sesungguhnya. Di sana, Gondang hanya menjadi pajangan yang menderita karena kehilangan fungsi dalam strata budaya Batak Kontemporer masa kini.Jeffar Lumban Gaol

Pengikut