Minggu, 24 Januari 2016

Menagih Janji Realisasi Nawacita dan Pengesahan UU Masyarakat Adat



Aksi Damai Mendesak Presiden Laksanakan Nawacita & Pengesahan RUU PPHMA

Jakarta 24/1/2016 – Masyarakat Adat di Indonesia merasa dikhianati oleh partai-partai politik lewat fraksi-fraksinya di DPR RI yang dalam berbagai kesempatan berjanji untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat melalui undang-undang. Namun dalam 40 daftar draf  pokok bahasan pemerintah dan DPR yang dirilis pada (20/1/2016) lalu tidak termasuk RUU Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat (RUUPPHMA).   

Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla juga berjanji memulihkan hak-hak masyarakat adat dengan mendorong pengesahan UU Masyarakat Adat ini.  yang tercantum dalam Nawacita, namun sampai tahun ke dua pemerintahan Jokowi-JK hingga tahun RUU Masyarakat Adat ini untuk masuk dalam Prolegnas 2016. Prolegnas 2016 UU Masyarakat Adat tidak masuk dalam daftar 40 undang-undang pokok bahasan DPR dan pemerintah .

aksi poster desakan masyarakat adat 
Oleh karena itu meski hujan turun di sekitar Bundaran HI tidak menyurutkan semangat wakil masyarakat adat yang bergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk melakukan aksi damai, menuntut pemerintahan Jokowi-JK dan DPR menenuhi janji, memasukkan RUU Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat (PPHMA) dalam Prolegnas 2016. Peserta aksi mengenakan pakaian adat dari berbagai wilayah membawa spanduk dan poster-poter meminta pemerintah merealisasikan Nawacita, Satgas Masyarakat Adat yang dijanjikan presiden.           

Menunda pengesahan RUU Masyarakat Adat sama dengan mengabaikan amanat UUD 1945, membiarkan Masyarakat Adat terus kehilangan hak tanpa perlindungan hukum, menunda 70 juta Masyarakat Adat menjadi warga NKRI yang seutuhnya!

Menunda pengesahan RUU Masyarakat Adat sama dengan menutup mata dan telinga terhadap tumpukan masalah yang dihadapi Masyarakat Adat, membiarkan konflik, pelanggaran HAM, kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terus terjadi di komunitas!

Membiarkan perampasan tanah, wilayah dan kerusakan SDA terus terjadi, membiarkan identitas budaya, seni dan tradisi, serta pengetahuan tradisional tanpa perlindungan hukum. Membiarkan UU dan berbagai kebijakan terkait Masyarakat Adat, berjalan tanpa pijakan hukum!

Sekjen AMAN menyampaikan orasinya
Dalam aksi damai ini Sekjen AMAN meyampaikan bahwa “di bundaran HI inilah tempat bersejarah bagi masyarakat adat, karena di sinilah untuk pertama kalinya dideklarasikan perjuangan masyarakat adat pada17 Maret 1999. Kita kembali berada di sini untuk menyampaikan kepada presiden dan publik bahwa hingga hari ini pada pemerintahan Jokowi JK hak-hak masyarakat adat belum juga diakui. Padahal dalam Nawacita secara jelas menyatakan keberpihakannya terhadap pemulihan hak-hak masyarakat adat,” kata Abdon   

Pada pemerintahan SBY saja RUUPPHMA sudah sampai tahap Pansus. Pada saat itu pembahasan gagal lantaran Menteri Kehutanan periode 2009-2014 Zulkifli Hasan berkali-kali tidak memenuhi panggilan DPR.
Abdon mengatakan RUU ini penting disahkan untuk menyelesaikan konflik-konflik masyarakat adat. Nantinya, UU ini juga akan efektif untuk memberikan pengakuan ke masyarakat adat yang memang menjalankan fungsinya.

"Dengan begitu, pemerintah bisa membedakan yang mana sejatinya masyarakat adat dan yang hanya mengaku masyarakat adat. Selama ini banyak yang mengaku-ngaku sebagai masyarakat adat sehingga menghambat program pemerintah," lanjut Abdon.

Nestor Tambunan bacakan puisi
“Menunda pengesahan RUU Masyarakat Adat sama dengan membiarkan ketidakadilan sosial dan hukum terus berlangsung di republik ini,” pungkas Abdon.****JLG

Kamis, 21 Januari 2016

Kearifan Berladang Tersirat Dalam Hukum Adat




Berladang Masyarakat Adat Di Sei Utik Kalbar
Ada anggapan bahwa perladangan (tradisional) berkaitan dengan keterbelakangan dan bukan sebagai suatu model pertanian berkelanjutan. Pandangan seperti ini sesungguhnya mengabaikan dinamika perladangan dari masa ke masa. Dalam mengkaji masalah perladangan, ada tiga hal yang harus menjadi dasar pertimbangan yaitu keharmonisan antara pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat, perspektif ilmiah, serta kebijakan publik.  

Bagi Suku Dayak misalnya, berladang bukan sekedar bercocok tanam saja melainkan ada unsur ritual yang sakral didalamnya. Orang Dayak asli dalam adat-istiadatnya, mengenal sistem berladang yang biasa disebut "bahuma batahutn" satu kali panen dalam setahun. Pada saat proses perladangan dimulai, Suku Dayak Kanayatn/ahe melaksanakan beberapa tahapan acara adat-istiadat. Orang Dayak saat melakukan perladangan tidak sendiri-sendiri, tetapi membentuk kelompok-kelompok tani yang disebut aleatn uma

Setelah melakukan perintisan, dilanjutkan tahap membersihkan lahan dengan cara mematikan pohon untuk mempermudah pembakaran. Jika pohon besar ditebang maka semak akan tertimpa sehingga menyulitkan peladang melakukan perintisan. Sulit mengeringkan bahan bakar (semak) dapat mengganggu proses pembakaran sisa-sisa penebangan nantinya

Sekat Bakar

Pembuatan sekat bakar dilakukan sebelum tahap pembakaran dilakukan, dengan cara membersihkan sekeliling ladang dari semak selebar 1-4 meter. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi perembetan api ke ladang yang bersebelahan dengan ladang yang akan dibakar.  
Untuk mencegah agar api tidak menjalar ke daerah yang tidak diingini, Suku Dayak biasanya membuat jarak tertentu dengan menebang pohon antara ladang dan kawasan yang mereka lindungi. Ladang dibuka dekat sungai sehingga kalau api menjadi liar dapat dipadamkan menggunakan air sungai tersebut.  

Di wilayah adat lainpun demikian. Kesadaran terhadap pembuatan sekat atau batas api selalu berkait dengan hukum adat dan kepercayaan leluhur. Sebagai contoh kita bisa lihat bagaiman komunitas Talang Mamak membuat batas api dalam bahasa Talang Mamak disebut melandang adalah membuat batas api di sekeliling ladang yang akan dibakar atau melokalisir api agar tidak menjalar ke tempat lain, dengan cara membersihkan dedaunan kering dan batang kayu-kayu telah lapuk, sebab api bisa menjalar melalui benda tersebut.

Membakar (mbaka) tehnik tebang bakar merupakan metode yang sangat umum digunakan dan diaplikasikan secara luas dan turun temurun dalam pembukaan lahan dijadikan sistem penggunaan lahan di daerah tropis, termasuk Indonesia.



 Petalla Guru dilakukan oleh seorang dukun dan biasanya dihadirkan sebelum melakukan pembakaran. Ada berbagai ritual yang dilakukan intinya adalah meminta persetujuan dari leluhur mereka agar proses pembakaran berjalan dengan lancar dan segala hewan yang berada di dalam ladang untuk dilindungi dan segera pergi. Dukun juga akan terlibat dalam penentuan arah angin dan biasanya angin sangat menentukan arah pembakaran hal ini menghindari kecelakaan kerja (Nurman Alumni Pascasarjana Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Riau, Pekanbaru)

Di Tanah Batak (Komunitas Adat Janji) ada tahapan mangalandangi pembuatan batas bakar dipinggir ladang dilakukan sebelum pembakaran. Hal ini dilakukan untuk memastikan api tidak menjalar ke tempat lain. Sekitar satu sampai dua meter batas di luar lahan yang baru dibuka dibersihkan. Masyarakat membersihkannya menggunakan cangkul, sampai kayu, akar dan daun-daun bersih dari batas tersebut. Sehingga  batas antara lahan yang akan dibakar dengan lahan lainnya terlihat seperti jalan ladang baru dibuka.

Sekalipun batas bakar telah dibuat, pembakaran lahan biasanya dimulai dari titik memungkinkan api menjalar dan dari arah perbukitan jika lahan tidak rata. Proses pembakaran seperti itu memudahkan peladang menjaga api agar tidak menjalar atau mangararati dalam bahasa setempat. Waktu pembakaran juga berlangsung dengan cepat, api paling besar hanya sekitar 1-2 jam saja. Disamping batang-batang pohon dan ranting yang telah kering, ladang yang baru dibuka pun tidak sampai satu hektar.

Kearifan Lokal


Pembakaran biasanya melibatkan orang lain yang memiliki pengetahuan khusus untuk membalikkan arah angin saat api tidak terkendali. Angin yang berhembus dengan kencang memang mempermudah pembakaran. Akan tetapi jika angin kencang dan berhembus tidak ke arah yang tak diinginkan tentu akan merepotkan peladang. Pawang anginlah yang mengatasinya. Pada umumnya pembakaran dilakukan pada siang hari saat matahari terik dan sebelum pulang si petani memastikan api sudah padam.  

 Orang Dayak Katingan memulai musim berladang setelah munculnya bintang tertentu yang disebut patendu. Perbintangan menjadi pedoman untuk mengetahui apakah cuaca layak untuk memulai musim tanam. Tanah yang digunakan untuk berladang juga tanah tertentu yang disebut tanah kereng dan bukan tanah gambut.

Di Halmahera Utara tepatnya di komunitas Pagu dalam pengetahun berladangpun hampir sama dengan wilayah adat lain di Nusantara. Dalam pertanian padi ladang, masyarakat memiliki penanggalan khusus untuk menentukan musim tanam sampai kepada musim panen berdasarkan pengetahuan lokal yang dimiliki.

Proses penyiapan lahan berlangsung setelah panen dilaksanakan. Penyiapan lahan  dilakukan pada lahan di lokasi lain yang pernah ditanami kemudian ditinggalkan beberapa waktu. Orang Pagu menyebutnya Jorame. Jorame biasanya berisi pohon -pohon kecil atau semak dan bambu. Jorame kemudian dibersihkan untuk musim tanam baru setelah ditinggalkan selama 4 - 6 bulan. Prosesnya mulai dari penebangan pohon-pohon, pembersihan semak dan bambu. Setelah pohon-pohon tersebut sudah ditebang, ada masa untuk membiarkan pohon-pohon tebangan mengering di atas tanah sebelum dibakar. Waktu pembakaran dan tanam yang telah dibersihkan tersebut ditentukan dengan melihat cuaca agar lahan yang telah bersih tidak dibiarkan lama dan alang-alang tidak tumbuh.

Untuk menghindari api merembet ke lokasi lain petani Pagu juga mempertimbangkan cuaca, makanya waktu bakar mendekati musim hujan. Menurut beberapa orang tua di Pagu, siang hari cuacanya terlalu panas jadi lahan sebaiknya dibakar pada malam hari, alasannya di siang hari tak ada embun sedangkan di malam hari lebih banyak embun sehingga kemungkinan api merambat peluangnya kecil sekali.

Pohon anti api
Pada saat membakar pun, lahan tersebut dijaga oleh pemilik lahan. Pada batas-batas lahan yang dibakar biasanya tidak ada timbunan kayu hasil pembersihan ladang, semuanya dibersihkan dan diletakan di bagian tengah ladang. Karena biasanya lahan untuk tanam padi dekat dengan kebun-kebun tanaman umur panjang seperti kelapa, pala dan cengkeh, maka pada saat pembakaran lahan untuk tanam padi, lokasi tersebut akan dijaga. 

Lain tipe perladangannya tentu lain pula pendekatan atau perlakuan yang digunakan. Pendekatan terhadap perladangan/penduduk setempat berbeda dengan pendekatan yang digunakan oleh pendatang atau pengusaha.  

Tak bisa dipungkiri bahwa perladangan berpindah memang upaya pertanian tradisional di wilayah adat, namun pembakaran dilakukan dengan tata cara disertai hukum adat untuk warga yang melanggar aturan. Pembukaan lahan dan perladangan di komunitas adat luasnya sangat terbatas dan terkendali, karena mengikuti aturan turun temurun. Para peladang tradisional sudah mahir menerapkan teknik membakar yang aman mengikuti kearifan nenek moyang yang tersirat dalam hukum adat. ****Jeffar Lumban Gaol

Daftar bacaan
Gayatri Joan Tatra
Suwardi
Nurman
Abe Ngingi
Jhon Tony Tarihoran

Rabu, 20 Januari 2016






Senja Danau Toba, View Aek Sipangolu Bakkara

Ompung Guru Guntur Sitohang Benteng Seni Budaya Batak




Ompung G Sitohang
Postur tubuhnya tidak gemuk, boleh dikatakan kurus, berjalan menggunakan tongkat penyangga untuk menopang tubuhnya. Usianya sudah 78 tahun. Namun di balik tubuh yang sudah menua tersebut, semangat dan tutur bahasanya hangat bersahabat. Ingatannya pada perkembangan kebudayaan batak di Samosir, periode tahun 50-an sampai saat ini masih jernih. 

Demikian sekilas sosok Ompung Guru G Sitohang, seorang seniman sejati yang setia pada jalan hidupnya. Ompung berusia 78 tahun yang memiliki cucu 31-an orang ini bermukim di Harian Boho Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Mengabdikan seluruh hidupnya untuk menguasai cara memainkan dan mengajarkan semua instrumen musik tradisional Batak pada anak-anak muda batak. G Sitohang bisa menuliskan partitur, mahir bermain serta melatih opera Batak maupun kesenian Batak Toba lainnya, seperti manortor (tari).  

Disamping mendidik anak-anaknya sendiri (Martogi, Joni, Ardoni, Martahan) dia juga mendidik musisi-musisi tradisi Batak ternama lainnya seperti, Jhon Poster Sihotang, Korem Sihombing, Turman Sinaga, Saefudin Simbolon, Alm Mangasa Naibaho pun,  pernah menimba ilmu pada ompung yang memperistri boru Habeahan ini.  

Totalitas dan dedikasi Guru G Sitohang pada musik tradisional Batak tidak diragukan lagi, hal ini dapat kita bagaimana hasil keahliannya dalam membuat semua jenis instrumen musik tradisional Batak, mulai dari sulim (suling bambu), hasapi (kecapi), sarune (instrumen tiup kayu), taganing (drum batak), garantung (xilophone) dan lain-lain. Hasil karyanya sudah banyak dikirim berbagai daerah di Indonesia bahkan ke luar negeri.

G Sitohang masih bisa tiup instrumen sarune
Saat ditemui di Harianboho, Kab Samosir (7/7/2014) beliau menceritakan baru saja mengikuti acara  pembuatan solu bolon (sampan besar) marga Simatupang di Muara (Taput), selama tiga bulan di hutan mencari kayu, bahan dasar pembuatan ‘Solu Bolon’ (perahu besar) dan selama itu pula musik gondang tradisi Batak) ditabuh mengiringi penebangan. “Kami menabuh gondang sebagai persembahan untuk menebang pohon. Sebelum selesai memotong kayu solu, gondang tidak bisa dibawa pulang, harus terus dibunyikan,”paparnya memulai pembicaraan. (Solu bolon dulu digunakan untuk menampung sejumlah kelompok orang batak mengarungi perairan Danau Toba berdagang bahkan merebut daerah kekuasaan).

Tahun 1957 Guntur Sitohang Muda meninggalkan bangku sekolahnya, bergabung dengan PRRI karena dia membayangkan betapa gagahnya jika menyandang senjata. Namun berpesan pada guru sekolahnya agar tidak mencoret namanya sebagai murid dan meyakinkan guru tersebut bahwa dia bisa menyelesaikan ujian.  

Selama bergabung dengan PRRI, G Sitohang menciptakan sebuah lagu dengan lirik terjemahan kira-kira seperti ini; Tanggal 17 tepat bulan 6, datang dalam mimpiku senjata harus menjadi teman tidur, siang dan malam tak pernah tidur, jaga-jaga mortir jangan kena pak Simbolon. Namun perkembangannya refrain lagu ini dalam opera batak, diganti menjadi “ohh Jamila-Jamila bintang film India” kemudian dipopulerkan oleh grup-grup teater tradisi opera Batak sebagai lagu Jamila   

“Seharusnya tidak demikian, akulah yang menciptakan lagu itu aku tahu aslinya, mestinya begini,” ucap G Sitohang sambil menyanyikan “O dunia, dunia uee rura partangisan, panongos ni ompu namartua Debata (oo dunia, dunia, tempat menagis, kiriman dari tuhan Debata).  

Sekembalinya dari gerilya PRRI G Sitohang langsung menyelesaikan pendidikannya lalu didaulat menjadi guru kesenian pada salah satu sekolah di Pangururan, Samosir. Oleh karenanya, ompung G Sitohang ini menyandang dua gelar yaitu Sitohang partembak (juru tembak PRRI) dan Sitohang guru. Dalam hal menembak G Sitohang kerapa diminta mengajarkan bagaimana cara menembak yang baik, pada anggota Koramil dan Polisi di Pangururan pada tahun 70-an.  Mereka berlatih sambil memburu kerbau liar yang terdapat di wilayah Sagala, Tamba, Sihotang karena dianggap populasinya sudah menggangu pemukiman dan kebun penduduk. Menurut perkiraan ada seribu ekor kerbau liar yang mereka tembak saat itu dan kulitnya bisa buat membran taganing.          

Taganing & gorga karya Ompung G Sitohang
“Saya waktu muda juga menciptakan lagu tentang keindahan danau, tapi sekarang saya tidak mungkin lagi mengajarkan lagu-lagu tentang keindahan danau Toba, karena sudah kotor,” ujar G Sitohang ketika diminta tanggapannya tentang kondisi danau tersebut.  
 

“Jalan adalah wajahnya kampung, halaman adalah wajahnya rumah, rumah adalah wajahnya hati,” ucap G Sitohang (dalam bahasa batak), betapa pentingnya ketiga hal ini dalam falsafah budaya batak. Rumah tidak harus berkilau-kilau tetapi yang paling penting adalah menjaga kebersihan,” ucap Ompung Guru G Sitohang.***Jeffar Lumban Gaol (pernah dimuat Sinar Harapan)           

Pengikut