Menyoal “GONDANG BATAK” melirik “ ANGKLUNG BALI”
Menyoal “GONDANG BATAK” melirik “ ANGKLUNG
Festival Budaya
Belum lama berselang, Bali Art Festival/BAF {Pesta Seni Bali} pertengahan Juni/Juli 2008 hampir bersamaan dengan, pelaksanaan dimulainya Festival Danau Toba{FDT} Juli 2008. Dua peristiwa budaya yang dapat diharapkan memulihkan dunia Parawisata tersebut, bisa dikatakan sama-sama gagal dalam mendatangkan turis.{mungkin karena dikelola pemda}. Maka, tidak ada salahnya kalau kita mencermati kedua peristiwa budaya tersebut, sebagai bahan kajian dan perenungan. Perenungan bagi kita orang Batak yang hanya bisa jadi penonton di kejauhan, maupun orang Batak yang menonton secara langsung, atau lewat berita koran dan televisi.
Mengamati peristiwa Festival Danau Toba {FDT} itu juga, telah mengundang banyak komentar miring, dari para Budayawan dan pemerhati kebudayaan Batak. Namun sudah bisa kita memprediksi, bahwa opini-opini mereka yang kritis terhadap FDT ini, mungkin dianggap angin lalu saja oleh panitia, dan sudah seharusnya ada session untuk mempertanggung jawabkannya. Agar kedepan FDT tidak lagi melakukan kesalahan yang sama, seperti halnya pelaksanaan FDT 10 tahunan yang lalu, yaitu jalan sendiri tanpa pernah memeriksa, berbagai kajian dari para budayawan, maupun pemerhati seni dan budaya Batak itu sendiri. Atau bila perlu mengundang juga para ahli untuk diminta pendapatnya. Akan tetapi panitia mungkin menganggap kritik tersebut tidak penting, yang penting adalah, proyek Pemda ini sudah selesai dan tutup buku.
Lantas apa yang bisa diharapkan dari sebuah FDT yang tingkat Profesionalitasnya sudah sama-sama kita saksikan tersebut? Apalagi kalau panitia yang bertanggung jawab, tak memberi ruang untuk bertukar fikiran, demi memajukan FDT itu dimasa yang akan datang. Tentu masih banyak lagi kritikan yang tidak muncul kepermukaan, namun ada juga pertanyaan cukup menarik, menyoal Festival Gondang umpamanya.
Festival” Gondang Sabangunan”
Bukankah FDT juga sudah seharusnya menampilkan Festival Gondang ?. Kalau bukan FDT, siapa lagi yang dapat diharapkan menjadi pelestari kebudayaan Batak tersebut ? Festival yang dimaksud disini, adalah sebuah pesta untuk menyatukan persepsi, sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa musik Gondang Batak telah mengalami stagnasi yang cenderung mendekati kepunahan. Bahkan ada kesimpang-siuran dalam memetakan Gondang na pitu {tujuh nomor Gondang Sabangunan yang menjadi dasar-dasar gondang Batak}. Hal ini terjadi disebabkan karena berbagai kondisi. Pertama karena tidak ada lagi pesta Bius. Padahal pada masa lampau, Pesta Bius telah menjadi tempat bernaung bagi Gondang Sabangunan, dimana upacara Bius menjadi wadah bagi pertumbuhan dan perkembangan Gondang itu sendiri . Disamping itu, semakin hari semakin sedikit saja orang Batak, yang mencapai strata Saur Matua dan kalaupun ada, keluarganya belum tentu mau membunyikan Gondang Sabangunan.
Mereka juga tentu, mempunyai alasan tersendiri, seperti anggapan bahwa menabuh Gondang adalah praktek sipele begu, yang sama dengan kafir. Atau juga mungkin karena masalah keuangan. Melihat fakta-fakta demikian, dapatlah kita menarik kesimpulan, bahwa Gondang Batak memang sangat membutuhkan wadah tempatnya untuk hidup dan berkembang. Wajar saja kalau ada yang mempertanyakan visi dan misi FDT, dalam hal melestarikan Gondang.
Apakah Gondang yang telah menggerakkan denyut jantung Budaya “Dalihan na Tolu” {tiga tungku yang menjadi relasi marga-marga} Ompung-Ompungnya {Leluhur} orang Batak tersebut, hanya menjadi etalase FDT saja ?
Festival Gondang Sabangunan & Gondang Hasapi harus masuk dalam program agenda kerja FDT.Alasannya, karena Gondang juga, sama halnya dengan Danau Toba, yaitu identik dengan suku Batak. Dalam Festival Gondang ini,{kalau kelak itu terjadi} juga tidak diperlukan pemenang atau juara, karena Festival ini bukan perlombaan. Semua saja Grup Gondang di Bona Pasogit, {kampung halaman} maupun di tano parserakan, {perantauan}
Pertanyaan kedua; Sebenarnya begitu banyak orang Batak, punya pemikiran/ gagasan dan konsep budaya yang baik, justru disambut oleh kelompok budaya lain. Adakah ini sebagai sebuah fenomena yang umum, bagi orang Batak perantauan yang tercerabut dari rootsnya ?{akarnya}.
Contohnya konsep Kebudayaan dari G.R. Lono Lastoro Simatupang {Budaya sebagai strategi dan strategi budaya tahun 2000) yang dikutip oleh Ibed Surgana Yuga dalam mengevaluasi BAF 2008. dan mengapa tidak ada membuat
Peluang dan Batas
Angklung Bali adalah Gamelan dalam golongan “Barungan Madya”. Di selatan Bali dengan bilah 4 nada sedangkan di
Dalam tabuhan klasik Gamelan Bali, angklung ini dianggap sebagai cikal bakal dari Gamelan Gong Kebyar, Angklung biasanya digunakan untuk mengiringi ritual Panca Yadnya, adalah 5 upacara suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu Bali dalam mencapai kesempurnaan hidup.
Mulai dari Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Wedana, Manusia Yadnya, Resi Yadnya.
Dengan kata lain, Gamelan Angklung memegang peran penting dalam upacara Adat dan keagamaan Hindu di Bali. Seperti upacara Ngaben, Ngasti. Penelitian STSI Denpasar mencatat ada 15 repetoar klasik dalam ranah Gamelan Angklung Bali, yang sampai kini terus di jaga kelestariannya dalam upacara Manusia Yadya didukung oleh semua Banjar di Bali sebagai lembaga adat {Banjar mirip dengan Bius dalam Batak}. Oleh karena itu, bolehlah kita mencoba menyandingkan keberadaan gamelan
Mungkin, hal ini akan membuat pembaca akan bertanya-tanya, apa perlunya kita mengulas Angklung
Angklung Bali menjadi Gebyar
Dalam Bali Art Festival 2008 yang lalu, telah ditampilkan kreasi baru dari Angklung Bali tersebut, yakni “Angklung Kebyar”. Kebyar disini, maksudnya adalah lebih gempita/ menggelegar.
Demikianlah perbedaan yang terlihat secara umun, antara Angklung Madya dan Angklung Gebyar. Soal kreasi, adalah soal yang lain lagi. Hal ini tentu saja sangat bergantung pada kreativitas sekhe {grup}peserta.
Menurut I Wayan Sadra, seorang putra Bali yang menjadi staff pengajar di STSI
Pada tahun 1971, telah dilangsungakn sebuah seminar mengenai kebudayaan
Seminar tersebut dihadiri para seniman, budayawan dan cendikiawan
“Pendataan dan Dokumentasi Gondang”
Pada tahun 2002 di Taman Mini Indonesia Indah, diadakanlah sebuah “Festival Gondang Batak”. Festival ini diorganisir oleh Grup Gondang “Batara Guru”, diikuti peserta sebanyak 12 grup. Sesudah itu, dilanjutkan lagi pada tahun 2006. “Batara Guru” bekerja sama dengan suku dinas kebudayaan DKI
Sebagai pelaksana Festival Gondang yang mengambil tempat di Taman Ismail Marzuki {PKJ TIM}itu, diikuti peserta yang hanya bermukim di Jakarta dan sekitarnya saja.
Namun sangat disayangkan, Festival tersebut belum mampu mendongkrak
permasalahan Gondang menjadi isu masyarakat masih terjebak dalam semangat perlombaan, sehingga tidak mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan, yaitu menyatukan persepsi tabuhan Gondang. Gagasan ini memang jitu, sebab hanya sebuah Festival Gondang yang baiklah, diharapkan mampu menjadi wadah untuk mengkumandangkan keberadaan Gondang yang kritis di tingkat adat, namun dahsyat dan dinamis meski repetitip {banyak pengulangan} konon turut menghidupkan tor-tor dalam dinamika Adat Dalihan na Tolu. Jadi percuma saja kita berteriak-teriak, minta perhatian Batak agar memberdayakan Gondang, karena kini kedudukannya dalam Adat Batak sendiri-pun sudah mulai disingkirkan. Disadari atau tidak, nyatanya dalam Adat Dalihan Na Tolu, Gondang Batak tidak eksis lagi seperti yang umum kita lihat dalam pesta-pesta adat Batak saat ini, pada adat Perkawinan dan Manggarar adat. Yang lebih mengenaskan lagi dalam pelaksanaan adat Saur Matua, musik yang digunakan dalam pelaksanaan adat itu kini lebih banyak menggunakan jasa musik brass {tiup} organ tunggal dan poco-poco. Ironis memang, karena pada saat segelintir masyarakat mulai menyadari, bahwa kondisi dan keberadaan Gondang Batak ini, dalam keadaan kritis, mereka tidak mendapat dukungan yang cukup.
Akhir-akhir ini memang ada kabar yang cukup menggembirakan, yaitu pendokumentasian Gondang Batak. Pada mulanya, kegiatan ini diprakarsai hanya beberapa orang saja, mereka adalah orang-orang yang perduli dan prihatin akan kondisi serta keberadaan Gondang yang luhur, namun terancam punah itu. Maka dianggap perlulah, membuat proyek Dokumentasi dari repertoar-repertoar Gondang Batak tersebut, dalam bentuk pendataan audio visual, berikut Tutorialnya. Dengan tujuan agar generasi muda Batak dimasa yang akan datang, tidak hanya tahu Gondang Batak itu hanya lewat dongeng belaka. Bagi Monang Naipospos, Suhunan Situmorang maupun Charlie Sianipar, Viky Sianipar dan kawan-kawan tentu ini adalah sebuah pekerjaan besar, yang memerlukan dukungan dari segenap putra-putri Batak, baik itu dari perantauan maupun di Bona pasogit {kampung halaman}. Pendokumentasian Gondang, adalah pekerjaan besar untuk mengantisipasi punahnya Gondang dari muka bumi ini. Sehingga, kalau kepunahan itu benar terjadi, kita masih punya data-datanya. Data inilah yang akan diwariskan kepada anak cucu kita nantinya. Walaupun demikian, pekerjaan besar ini masih menyisakan pertanyaan, menyangkut Gondang na Pitu { tujuh dasar-dasar Gondang Sabangunan}. Umpamanya, sebagai dasar-dasar Gondang Sabangunan, apakah Sampur Marmeme dan Sampur Marorot termasuk dalam golongan Gondang Na Pitu ? mengenai hal ini, ada baiknya didiskusikan dulu dengan basis-basis yang berkaitan dengan Gondang Batak. Terutama dengan Pargosi-pargonsi dari berbagai basis Bius {kumpulan marga-marga}masa lalu, yang menyebar ke Parserakan {perantauan}. Sebab, menurut beberapa sumber yang bisa dipercaya, Sampur Marmeme dan Sampur Marorot belum lagi atau bukan termasuk dalam Gondang na Pitu. Bisa jadi Tonggo-Tonggo {mantra}pun dianggap sama sebagai goar-goar ni gondang.
Kita bisa membayangkan, seberapa jauhkah variasi dari Gondang itu bisa dieksplorasi, menjadi komposisi-komposisi seperti goar-goar ni gondang yang berjumlah ratusan tersebut ?.
Bagaimana nantinya para Pargonsi menghapalkan perbedaan-perbedan setiap gondang tersebut ?. Dalam Gondang Hasapi memang agak sedikit jelas adanya perbedaan antara komposisi yang satu dan yang lain. Berbicara mengenai belajar Gondang, ada beberapa catatan yang cukup unik.
Menurut pengakuan beberapa Pargonsi {para musisi gondang}seperti Almarhum AWK Samosir, pernah membuat pernyataan bahwa kemampuannya bermain hasapi itu{intrumen petik dengan dua senar}didapatnya melalui mimpi.
Pengalaman Tarsan Simamora juga mirip seperti itu, yakni mata guru, roha sisean {mata memandu, hati merasakan}, sedangkan pengalaman Manogang Siahaan lain lagi, baginya seseorang yang ingin belajar menjadi pargonsi, ada juga cara melalui bimbingan, dari orang tua yang tahu Tonggonya {Doanya}.
Pernah sekali waktu, Ketika Manogang Siahaan masih di kampung dulu, menyaksikan seorang petani muda yang tak pernah belajar Gondang, diminta ikut oleh seorang yang sudah dituakan, untuk meniup Sarune bolon (instrumen tiup kayu dengan rit bambu, diikat benang} dalam sebuah upacara Parmalim di desanya Panamparan {dekat Sigura-gura}. Orang tua tersebut telah terpaksa menggunakan pemuda itu sebagai mediumnya, karena pargonsi-pargonsi {musisi gondang} lainnya telah pergi meninggalkan desa ke
musik sakral, serta melihat uraian-uraian yang sudah dikemukakan di atas tadi, jika Gondang Sabangunan tidak mendapatkan tempatnya lagi dalam adat Dalihan na Tolu, seperti Tubu, Mangoli, Saur Matua, Mangokkal holi-holi/saring-saring {lahir, menikah, wafat dan berketurunan, mengangkat tulang-belulang, dimana kedudukan tiga tungku Boru, Dongan tubu, dan Hula-hula berfungsi, nampaknya Gondang Sabangunan segera akan dilupakan orang. Gondang Batak ini mengalami kondisi yang berbeda dengan Angklung Bali.
Angklung Bali masih tetap berfungsi dalam wadah upacara Manusa Yadnya meskipun sudah ada kreasi-kreasi baru, seperti Angklung Kebyar yang sudah tampil dalam BAF 08 tersebut. Namun perlu kita ingat sekali lagi, bahwa turis tidak datang untuk menyaksikan BAF. Lagi-lagi turis datang untuk sebuah Ngaben Besar di Ubud dan Karang Asem Bali. Disanalah Angklung mengemban tugasnya bersama Blaganjur mengawal prosesi Upacara massal, disaksikan oleh segenap warga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar