“Pesan Kepada Pejuang Di perkampungan” oleh Gugun Baringin Marbun
Katakanlah pada mereka
Bahwa peluru
tidak akan pernah sanggup
mengusir roh leluhur
dari tanah, air, dan udara.
Sebab jauh sebelum peluru itu menembus raga,
kutukan telah tiba
yang diucapkan leluhur
sambil menggenggam tunggal panaluan.
Katakan pada mereka,
tidak akan kuat terali memenjarakan kalian
sebab,
sebelum, tangan diikat,
mulut disekap
akan terdengar suara “Ogung” bersama “Sarune”
yang melengkapi Sabangunan
untuk sebuah tonggo terhadap mula jadi nabolon
Kalian tidak meminta,
hanya ingin mengambil hakmu
Jangan takut,
katakan pada mereka
agar berlari membunyikan lonceng,
ketika kalian menjerit... ...
ketika kalian meronta... ...
ketika kalian menangis... ...
Karena
lentang lenting lonceng itu
akan menjadi bisikan Tuhan ditelinga manusia...
Pandumaan, Dolok Sanggul 2009.
Sebuah refleksi yang terpengaruh oleh puisi Gugun Baringin Marbun.
Saat pertama kali membaca puisi “Pesan Kepada Pejuang Diperkampungan” karya Gugun Baringin Marbun ini, aku langsung membayangkan bunyi Ogung, Sarune bolon dan Taganing yang ditabuh bertalu-latu sebagai bagian dari gondang sabangunan. Namun orang tua dulu, menyebutnya mamalu ogung, bukan mamalu gondang. Sebab Ogung atau Gong, sarat dengan berbagai simbol yang disandangnya. Seperti terhormat/ harajaon, hasangapon dan hagabeon. Bukan menyandang predikat sebagai intrumen sipele begu seperti yang coba ditanamkan oleh Belanda lewat missi zendingnya, pada segenap batok kepala bangso Batak. Biasanya tiap bius adat, memiliki gong sendiri-sendiri yang selalu ditabuh dalam setiap ritual horja bius. Molo mangkuling ogung, asa rundut sude suhut marpungu marsada ni roha, asa sada rohanta mangulahon ulaon bolon on. Kira-kira begitulah diucapkan parhata.
Andaikan, dentang-denting bunyi lonceng (Gereja) itu dimainkan secara bersamaan dengan “Gondang Sabangunan,” sebagai rangkaian gelombang bunyi saja, sudah menarik. Meskipun memiliki frekwensi hertz yang berbeda dengan gondang sabangunan, perpaduan bunyi lonceng dan mamalu gondang sabangunan tersebut, mungkin akan membawa kita pada satu atmosfir suasana ritual magis, asal dibunyikan dengan hati yang meminta pada sang Pencipta khalik langit bumi Mulajadi Nabolon, agar direstui keinginan untuk memperjuangkan kedaulatan Ulayat Adat, dengan mempertahankan hutan alam dan hutan kemenyan itu. Sehingga terbangunlah kebersamaan yang mengantar kita pada satu pertalian dan keyakinan yang kuat. Yaitu niat untuk mempertahankan hutan Ulayat adat, sedataran tinggi Humbang.
Ketika bayangan kedua yang muncul, aku tak bisa tenang. Ada semacam kegelisahan yang sangat hebat melanda diriku, sadar akhir-akhir ini begitu banyak orang-orang yang memilih jadi opurtunis di sekitar kita. Dalam sebuah perjuangan, apalagi yang diperjuangkan itu adalah kebersamaan mengelola lingkungan hidup, karakter seperti itu memang harus disisihkan. Namun aku juga sadar, menunggu semuanya bersih dari karakter yang mengambil keuntungan, saat arah angin bertiup berlawanan. Tentu tidak mem-bawa perubahan apa pun juga.
Sia-sia kah semua kesadaran masyarakat yang tumbuh saat ini untuk mempertahankan lingkungan hidup yang tak bisa lagi ditunda?, mengingat akhir-akhir ini begitu banyak bencana alam yang melanda negeri dan kita menyadari sebuah kenyataan baru, bahwa tanah air kita memang rawan gempa.
Belum lagi masalah perubahan cuaca global yang gencar diperingatkan dalam kampanye global warming. Masalah krisis air bersih dan sampah industri. Dari manakah kita memulai gerakan lingkungan hidup itu? Diri sendiri sudah tentu bisa membuktikan bahwa kita tidak sekedar perduli, tapi paling tidak kita tahu bagaimana menanam pohon agar tumbuh. Agar kita paham apa yang sedang diperjuangkan itu dan tidak hanya sebatas kertas saja. Lagi pula menanam pohon memang belum dipelajari sebagai ekstra kurikuler di sekolah umum seperti di tingkat SD hingga SMP. Sudah terlalu banyak orang berpangku tangan menunggu pekerjaan formal sebagai pegawai negeri atau pegawai apa saja.
Sementara itu sifat konsumerisme sudah jadi gaya hidup semua orang Padahal dalam kehidupan sehari-hari saja, begitu banyak orang susah dan menganggur disekeliling kita. Jadi, bersih dalam pertaruhan lingkungan ini, sangat tidak mungkin. Apalagi kertas-kertas kerja untuk dipertaruhkan sudah berjalan dengan bergulirnya waktu dan proses alam yang sudah renta ini.
“Mengapa memakan waktu yang begitu lama untuk membebaskan hutan register 41 itu dari eksploitasi gerombolan perusak lingkungan hidup”?.
Padahal pelanggaran itu sudah terjadi sejak orba berkuasa. Mereka menebang mulai dari Huta Galung, Huta Julu, Huta Paung, Pansur Batu, Matiti, Aek Nauli. Katanya cuma bikin jalan ke proyek Indorayon-lah, jalan ke proyek TPL-lah, masyarakat disana diam seribu bahasa melihat gerombolan resmi itu menebangi hutan alam dan hutan kemenyan.
Memang ada preman yang mengaku raja adat di kampung sana yang mendapat pago-pago. Tapi apakah mereka mewakili seluruh komunitas Ulayat adat? .
“Apa itu Ulayat adat? tolong jelaskan dulu,” mereka balik bertanya. Sementara itu pos-pos jaga, sudah berdiri sejak rezim orba masih berkuasa. Untuk apa pemilik sertifikat Hutan Tanam Industri membangun pos-pos jaga? Padahal ada polisi hutan, ada polisi polres, ada dandim, ada camat, ada bupati. Tapi mereka diam saja, seolah-olah pembalakan itu tak pernah terjadi. “Ah bukan, itu kan cuma kayu eucaliptus,” kata mereka, sambil memberi kursus dan pelatihan bagi masyarakat bagaimana cara menanam pohon kemenyan. Begitulah cara mereka membohongi kita.
Tangannya kanan menebang hutan kemenyan dan tangan kiri seolah-olah perduli pada pelestarian hutan kemenyan itu. Kita sadar bahwa sudah terjadi tipu muslihat oleh pemegang HPHHTI itu terhadap masyarakat, nun di kampung leluhur sana dan kita hanya bisa mengumpat, kesal tak dapat berbuat apa-apa, karena kita tidak terdaftar sebagai penduduk disana, meskipun betul itu tanah leluhur kita. Menyingung Hutan Tanam Industri, nalar yang masuk akal, mengenai kerangka kerja Hutan Tanam Industri, bukankah sebaiknya mereka memulai dari menanam lebih dulu baru menebang. Makanya dikatakan hutan tanan industri. Itupun setelah pohon industri tersebut, berusia 5 tahun keatas agar kontur tanah tidak terganggu.
Tak ada pilihan lain bagi masyarakat Sipitu Huta dan Pandumaan, Kecamatan Pollung, Negeri Marbun itu, kecuali mempertahankan Hak Ulayat mereka. Sebab merekalah pewaris hutan kemenyan dan hutan alam di dataran tinggi Humbang tersebut. Dukungan positif tanpa mengambil keuntungan dari konflik ini, sangat mereka butuhkan. Sosialisasi dan pengabaran tentang problem yang sedang dihadapi saudara kita para petani Sipitu Huta dan Pandumaan tidak menjadi dongeng belaka bagi anak-cucu keturunan negeri Marbun Humbang, pada masa datang. “Mari kita mulai dari sekarang, perduli pada kedaulatan lingkungan hidup dan Ulayat Adat”. HorassS!.
"Involve in Art environment resources, Music and Humanity" every years rain tropic forest lost also their language - Indigenous Peoples Solidarity
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar