Rabu, 20 Januari 2016

Ompung Guru Guntur Sitohang Benteng Seni Budaya Batak




Ompung G Sitohang
Postur tubuhnya tidak gemuk, boleh dikatakan kurus, berjalan menggunakan tongkat penyangga untuk menopang tubuhnya. Usianya sudah 78 tahun. Namun di balik tubuh yang sudah menua tersebut, semangat dan tutur bahasanya hangat bersahabat. Ingatannya pada perkembangan kebudayaan batak di Samosir, periode tahun 50-an sampai saat ini masih jernih. 

Demikian sekilas sosok Ompung Guru G Sitohang, seorang seniman sejati yang setia pada jalan hidupnya. Ompung berusia 78 tahun yang memiliki cucu 31-an orang ini bermukim di Harian Boho Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. Mengabdikan seluruh hidupnya untuk menguasai cara memainkan dan mengajarkan semua instrumen musik tradisional Batak pada anak-anak muda batak. G Sitohang bisa menuliskan partitur, mahir bermain serta melatih opera Batak maupun kesenian Batak Toba lainnya, seperti manortor (tari).  

Disamping mendidik anak-anaknya sendiri (Martogi, Joni, Ardoni, Martahan) dia juga mendidik musisi-musisi tradisi Batak ternama lainnya seperti, Jhon Poster Sihotang, Korem Sihombing, Turman Sinaga, Saefudin Simbolon, Alm Mangasa Naibaho pun,  pernah menimba ilmu pada ompung yang memperistri boru Habeahan ini.  

Totalitas dan dedikasi Guru G Sitohang pada musik tradisional Batak tidak diragukan lagi, hal ini dapat kita bagaimana hasil keahliannya dalam membuat semua jenis instrumen musik tradisional Batak, mulai dari sulim (suling bambu), hasapi (kecapi), sarune (instrumen tiup kayu), taganing (drum batak), garantung (xilophone) dan lain-lain. Hasil karyanya sudah banyak dikirim berbagai daerah di Indonesia bahkan ke luar negeri.

G Sitohang masih bisa tiup instrumen sarune
Saat ditemui di Harianboho, Kab Samosir (7/7/2014) beliau menceritakan baru saja mengikuti acara  pembuatan solu bolon (sampan besar) marga Simatupang di Muara (Taput), selama tiga bulan di hutan mencari kayu, bahan dasar pembuatan ‘Solu Bolon’ (perahu besar) dan selama itu pula musik gondang tradisi Batak) ditabuh mengiringi penebangan. “Kami menabuh gondang sebagai persembahan untuk menebang pohon. Sebelum selesai memotong kayu solu, gondang tidak bisa dibawa pulang, harus terus dibunyikan,”paparnya memulai pembicaraan. (Solu bolon dulu digunakan untuk menampung sejumlah kelompok orang batak mengarungi perairan Danau Toba berdagang bahkan merebut daerah kekuasaan).

Tahun 1957 Guntur Sitohang Muda meninggalkan bangku sekolahnya, bergabung dengan PRRI karena dia membayangkan betapa gagahnya jika menyandang senjata. Namun berpesan pada guru sekolahnya agar tidak mencoret namanya sebagai murid dan meyakinkan guru tersebut bahwa dia bisa menyelesaikan ujian.  

Selama bergabung dengan PRRI, G Sitohang menciptakan sebuah lagu dengan lirik terjemahan kira-kira seperti ini; Tanggal 17 tepat bulan 6, datang dalam mimpiku senjata harus menjadi teman tidur, siang dan malam tak pernah tidur, jaga-jaga mortir jangan kena pak Simbolon. Namun perkembangannya refrain lagu ini dalam opera batak, diganti menjadi “ohh Jamila-Jamila bintang film India” kemudian dipopulerkan oleh grup-grup teater tradisi opera Batak sebagai lagu Jamila   

“Seharusnya tidak demikian, akulah yang menciptakan lagu itu aku tahu aslinya, mestinya begini,” ucap G Sitohang sambil menyanyikan “O dunia, dunia uee rura partangisan, panongos ni ompu namartua Debata (oo dunia, dunia, tempat menagis, kiriman dari tuhan Debata).  

Sekembalinya dari gerilya PRRI G Sitohang langsung menyelesaikan pendidikannya lalu didaulat menjadi guru kesenian pada salah satu sekolah di Pangururan, Samosir. Oleh karenanya, ompung G Sitohang ini menyandang dua gelar yaitu Sitohang partembak (juru tembak PRRI) dan Sitohang guru. Dalam hal menembak G Sitohang kerapa diminta mengajarkan bagaimana cara menembak yang baik, pada anggota Koramil dan Polisi di Pangururan pada tahun 70-an.  Mereka berlatih sambil memburu kerbau liar yang terdapat di wilayah Sagala, Tamba, Sihotang karena dianggap populasinya sudah menggangu pemukiman dan kebun penduduk. Menurut perkiraan ada seribu ekor kerbau liar yang mereka tembak saat itu dan kulitnya bisa buat membran taganing.          

Taganing & gorga karya Ompung G Sitohang
“Saya waktu muda juga menciptakan lagu tentang keindahan danau, tapi sekarang saya tidak mungkin lagi mengajarkan lagu-lagu tentang keindahan danau Toba, karena sudah kotor,” ujar G Sitohang ketika diminta tanggapannya tentang kondisi danau tersebut.  
 

“Jalan adalah wajahnya kampung, halaman adalah wajahnya rumah, rumah adalah wajahnya hati,” ucap G Sitohang (dalam bahasa batak), betapa pentingnya ketiga hal ini dalam falsafah budaya batak. Rumah tidak harus berkilau-kilau tetapi yang paling penting adalah menjaga kebersihan,” ucap Ompung Guru G Sitohang.***Jeffar Lumban Gaol (pernah dimuat Sinar Harapan)           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut