Selasa, 28 Juli 2009

"Andung" seni suara dan sastra

“Andung-andung” seni suara dan sastra Batak
Sampai awal tahun 70-an, Andung sebagai senandung jiwa yang mengunakan bahasa batak halus dan lembut, masih cukup sering terdengar dalam komunitas inong-inong pangaletek amak (ibu-ibu penganyam tikar) di perkampungan santero tanah “Batak”. Inong-inong penganyam tikar itu, umumnya marnapuran (mengunyah daun sirih yang diolesi kapur bercampur tembakau dan biji pinang secukupnya), jika dikunyah warnanya jadi merah seperti darah. Oleh karena itu, inong-inong ini juga kerap saling tukar menukar napuran (sirih). Mereka markombur, saling mengomentari andung-andung yang baru dikumandangkan salah seorang dari mereka.
Adakalanya, inong yang pada mulanya menenangkan hati si pangandung terdahulu, justru malah meng-andung-kan senandung jiwanya, untuk mengungkapkan isi hatinya. Ibu-ibu yang lain mendengar sambil mengunyah sirih, namun tangan mereka tetap cekatan bekerja mengenyam tikar. Disini andung-andung berfungsi menjadi katalisator yang menimbulkan katarsisme semacam healing, penyembuhan bagi yang mengalami kesedihan maupun beban hidup, agar mereka tidak berlarut-larut memendam kegetiran hidup itu sendirian. Sebenarnya, ada juga lelucon sekitar andung-andung. Misalnya andung-andung untuk seorang kepala keluarga yang semasa hidupnya terlihat baik-baik saja, namun sesudah meninggal, baru ketahuan belangnya. Ternyata si bapak tersebut punya istri simpanan dan keluarganya baru tahu ketika dia menemukan ajal. Lelucon yang dimaksud disini adalah situasi, bukan lucu plesetan.
Andung dalam peristiwa kematian.
Dulu, apa bila sebuah keluarga mendapat kemalangan dan tak satupun anggota keluarga itu yang bisa mangandung, maka untuk menjaga suasana berkabung , biasanya ada saja anggota keluarga yang bisa mangandung, langsung tampil dengan andung berkisah turi-turian (tutur) almarhum semasa hidup secara spontan. Dalam peristiwa kematian, kehadiran pangandung sangat di butuhkan. Hal ini bertujuan untuk menghindari cibiran orang. Sebab orang “Batak” menganggap, Jika ada kepala keluarga yang meninggal dan belum mencapai strata sari matua/ saur matua, maka peristiwa itu adalah kematian yang menyedihkan. Ssudah sepantasnya untuk di-andung-kan, bukan untuk memeras air mata, tapi untuk menepis komentar orang, yang kadang menyakitkan hati. Seperti “Eh tahe, tanda do soadong lungun di inanta nai , ai so diboto mangandung” (wah, rupanya tak ada perasaan sedih pada ibu ini, sebab tidak dia tidak tahu mangandung). Komentar seperti itu kerap terjadi dan untuk menghindarkannya, biasanya diundanglah pangandung dari kampung lain. Namun, pangandung bukanlah profesi seperti penyanyi. Meskipun andung bisa kita katakan memiliki unsur seni suara namun tehnik vokal pangandung tidak memerlukan Vibra seperti umumnya penyanyi penyanyi pop batak. Para Pangandung lahir secara alamiah dan untuk mempelajari seni ini, hanya diturunkan lewat tradisi tutur/ lisan. Kurangnya data maupun transkripsi andung-andung kalaupun ada hanya dalam pustaha yang hanya dimiliki segelintir orang yang memang ditulis dalam aksara “Batak” pula. Sebab untuk menjadi pangandung yang paling penting, adalah penguasaan Sastra Bataknya.
Andung-andung selalu berkaitan dengan duka cita, nestapa, dan kemalangan hidup. Namun, seni yang dapat kita kategorikan sebagai seni tutur ini, perlahan-lahan menghilang dari khasanah budaya adat “Batak”. Ada banyak hal yang berkaitan erat dengan silamnya andung-andung ini. Antara lain adalah penggunaan bahasa “Batak” yang semakin minim dalam hidup keseharian masyarakat “Batak” itu sendiri.
Pada masa sekarang memang tak mungkin lagi mengembalikan pemandangan seperti komunitas inong-inong pangaletek amak tahun tujuh puluhan itu, namun dalam peristiwa meninggalnya seseorang, pangandung pun jarang kita temukan, yang ada hanyalah anggota keluarga yang mangangguk bobar, tangis terisak isak . Hal ini diperburuk dengan hadirnya lagu-lagu trio yang mengeksploitasi kesedihan, tanpa mengindahkan nilai-nilai sastra. Lagu-lagu itu terkesan seolah-olah seni andung, namun kalau kita cermati tak lebih hanya isak tangis belaka, sebagai nyanyian pop biasa yang tak lagi mengindahkan kaidah sastra yang mengacu kepada umpasa “Batak”. Disamping itu, moderenisasi juga turut mendorong berubahnya cara pandang bangso “Batak” pada andung-andung dan akhirnya sampai pada anggapan, bahwa tradisi leluhur itu sebagai ketinggalan jaman. Mungkin juga pola hidup masyarakat di tanah “Batak” sendiri, memang sudah berubah.
Sastra Batak terancam punah
Menurut Mula Harahap;” Bahasa itu seperti hutan tropis”, setiap tahun ada saja hutan tropis yang hilang dari muka bumi ini. Begitu juga dengan bahasa, setiap tahun ada yang punah. Salah satu bahasa yang ditengarai akan segera punah, adalah bahasa Batak. Chris Purba beberapa waktu yang lalu juga menuliskan,”Bahasa Batak dalam hitungan mundur menuju kepunahan”. Maju mundurnya sebuah bahasa tentu tak lepas dari berkembang tidaknya karya-karya sastra yang lahir dan menggunakan bahasa yang bersangkutan. Salah satu seni yang berkaitan erat dengan perkembangan sastra bahasa Batak, adalah seni Andung-andung atau senandung jiwa. Meskipun pada mulanya adalah tradisi tutur/lisan, namun andung sangat menonjolkan bentuk sastra umpasa (tamsil/ berpantun/ sanjak baris).
Sementara itu Umpasa ini, kian hari semakin jarang terdengar dan andung tak lagi hadir dalam peristiwa kematian. Inilah yang menjadi indikasi punahnya seni tutur “Batak” ini. Ada lima karya andung-andung yang ditulis oleh maestro opera “Batak” Tilhang Gultom yang sempat kami kumpulkan yaitu Andung-andung Ni Namarina Panoroni ( 1927 ), Andung-andung Nasopot so Marama so Marina ( 1928 ), Andung-andung ni natading maetek ( 1927 ), Andung-andung ni na so marianakhon ( 1967 ), Andung-andung ni si Boru Tumbaga ( 1930 ). Beberapa baris bait andung-andung tersebut ternyata cukup sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing lainnya. Seperti; Binutbut sibagure da inong, da marlotop sibongbong ari.
Atau; Boasa ma inong humatop ho, patambor silumuhut paugan situmalini , jika kita coba untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, hasilnya kira-kira: Mengapa Ibu begitu cepat, menjadi seonggok tanah berumput yang jadi penyubur tanah. Namun, kita juga menyadari bahwa terjemahan tadi hanyalah prakiraan saja, sebab impresi baris andung karya Tilhang Gultom tadi tak sepenuhnya dapat kita terjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Jika ingin memahami esensinya, terpaksa harus memahami bahasa “Batak” itu lebih dulu, bukan lewat terjemahan.
Andung-andung Si Boru Tumbaga dan sastra Batak kini.
Andung-andung sebenarnya memiliki makna yang lebih luas dari sekedar mangangguk bobar tangisan dan rintihan pilu. Seperti yang terjadi dalam pertunjukkan dan pameran kebudayaan yang diselenggarakan oleh pemkab Tobasa di Lapangan Sisingamangaraja, Balige, beberapa waktu yang lalu.
Boru Ginting, seorang pangandung yang naik ke atas panggung. Dia mengumandangkan Andung-andung Si Boru Tumbaga, seorang peniup seruling turut serta mengiringi “andung-andung” yang disuarakan boru Ginting itu. Kedua mata Ibu itu sedikit menutup, seakan tak terpengaruh suasana sekitar panggung. Para penonton hanyut oleh lembutnya alunan suara Ibu ini. Tak mau kehilangan momen, beberapa orang sibuk mendokumentasikan peristiwa langka tersebut. Dikatakan langka, karena masyarakat sudah jarang sekali mendengar andung seperti itu. Apalagi andung-andung Si Boru Tumbaga ini, dipertontonkan secara terbuka di depan publik, sebagaimana layaknya sebuah pertunjukkan. Peristiwa tersebut, sedikit banyak mengubah persepsi orang “Batak” yang kadung menganggap bahwa andung-andung hanyalah ratap tangis belaka. Bagi masyarakat di sana, istilah sastra mungkin masih jauh dari benak dan pemahaman mereka. Yang mereka tahu seni seperti ini sudah sangat jarang mereka dengar.
Andung-andung Si Boru Tumbaga, menuturkan dua orang gadis bersaudara yang tidak memikili Ito saudara laki-laki. Maka ketika ayahnya meninggal dunia, mereka diasingkan oleh keluarga pihak ayahnya sendiri. Yang lebih menyedihkan lagi, harta warisan yang seharusnya jatuh ketangan mereka, juga diambil saudara dari garis marga ayahnya. Karena kesedihan yang dalam, kedua gadis kakak beradik itupun, pergi ke dalam hutan untuk bersemedi. Disanalah mereka mang-andung-kan Si Boru Tumbaga.
Sebenarnya andung-andung Si Boru Tumbaga, pernah juga dimainkan Opera “Serindo” Tilhang Gultom dan Plot (pusat latihan opera batak) yang digembalakan Thomson H.S. Penafsiran naskah yang berangkat dari turi-turian ini tentu saja berbeda antara satu dan lainnya. Namun inti sari dan pesan yang mau disampaikan tetap sama, yakni keadilan dan persamaan hak bagi perempuan. Seperti yang kita ketahui, dalam budaya adat “Batak” sampai saat ini, masih diskriminatif terhadap perempuan. Khususnya dalam pembagian warisan. Sehingga muncul kekacauan dan tak ada lagi keadilan, karena ahli waris yang sesungguhnya telah disingkirkan, hanya karena alasan si pewaris itu adalah perempuan.
Para peneliti dan pemerhati budaya “Batak”, yang mencoba mendeskripsikan andung-andung dengan teori-teori sastra mereka, sebenarnya sudah benar namun mereka kurang gencar mensosialisasikan kajian dan temuan mereka. Dengan demikian, temuan mereka yang menyatakan bahwa andung-andung adalah seni suara yang mengutamakan bahasa kelembutan itu, kurang bersentuhan dengan masyarakat “Batak”. Baik itu yang berada di perantauan maupun di “Bona Pasogit”. Sirnanya kelembutan itu juga berdampak pada perilaku orang “Batak” sendiri. Tak heran perilaku orang sekarang menjadi sangat kasar dan verbal. Sebab bahasa batak yang digunakan saat ini adalah bahasa Batak yang sudah berevolusi alias dipangkas dari kelembutan sastra umpasa dan andung-andung.
Sementara menurut Monang Naipospos tokoh masyarakat Toba Samosir dan penggiat budaya Batak mengatakan, yang berkaitan dengan seni suara dan sastra Batak bukan cuma Andung-andung saja. Jauh sebelum Andung-andung digemari sudah ada Joing, Otis, Doding, Dideng juga Tumbas.

*Jeffar Lumban Gaol

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut