Senin, 27 Juli 2009

"KE BAKKARA VIA PELABUHAN BALIGE"

“KE BAKKARA Via PELABUHAN BALIGE”

Berbicara mengenai danau Toba, semua orang tentu punya pengalaman sendiri-sendiri. Bagi mereka yang lahir dan tumbuh di Parapat, Porsea, Balige, Pangururan, Tomok, Tuk-tuk, Haranggaol, Tongging, Bakkara, Muara serta banyak lagi tempat-tampat lain di sekeliling danau itu, danau Toba tentu bukanlah hal yang asing. Sebab sejak kecil mereka sudah diperkenalkan, bahwa hamparan air yang luas itu adalah danau Toba. Namun bagi seorang anak yang masih duduk di bangku TK, yang mendapat pelajaran menggambar dan mewarnai, bahwa laut itu warnanya mesti biru. Bisa jadi anak tersebut beranggapan, bahwa Danau Toba adalah lautan, Saat pertama kali menatapnya.

Pengalaman yang sama dengan anak TK tadi, juga terjadi padaku. Waktu itu bulan Desember tahun 1969, bus yang kami tumpangi hampir memasuki Parapat, persisnya di atas Sibaganding. Saat pertama kali menatap hamparan air biru yang maha luas itu. Spontan aku bertanya” Mana kapal perangnya Namboru?” tanyaku pada Namboru yang duduk di sebelah, dia heran atas pertanyaanku itu. Namun dia segera sadar akan fantasiku yang berlebihan itu dan berkata, “inilah danau Toba, danaunya orang Batak,” katanya penuh pengertian, memahami kesalah pahamanku tesebut. Bisa kita bayangkan, betapa cemerlangnya warna biru yang menyelimuti danau Toba pada masa itu.

Toobaaa! Toobaaa! Tobaaa!” Teriak kernek bus dengan keras yang khas Batak, menyadarkan aku dari serpihan kenangan masa kecil itu. Awal dari perjalananku ke Bakkara yang akan ditempuh dengan kapal motor dari pelabuhan Balige. Mini bus yang kutumpangi sudah melitasi Tanjung Morawa. Aroma tak sedap datang menyerang indera penciumanku. Bau yang berasal di pabrik karet dan sawit itu untuk beberapa saat sempat jadi gangguan aku gelagapan dibuatnya. Sebab mini bus yang kutumpangi bukan kelas Ac, jadi jendela harus dibuka agar sirkulasi udara terjadi dan rasa panas sedikit berkurang. Aku hampir saja muntah akibat bau tak sedap itu.

Lewat kota Tebing Tinggi aroma bau itu mulai berkurang, dan akhirnya bisa menikmati perjalanan kelas Rp 46.000 bus Medan Raya Exspres itu. Setelah berhenti sejenak di Siantar dengan waktu istirahat cukup untuk makan dan minum. Mini bus L 300 melanjutkan perjalanan menuju Parapat lewat perluasan. Tak sampai sejam kemudian kami sudah sampai di atas Sibaganding. Tampaklah pemandangan danau Toba yang mempesona itu bersamaan dengan bertiupnya udara sejuk dari arah danau. Dari Parapat melewati lombang si Sera-sera sebelum akhirnya memasuki Huta Julu dan Porsea. Sebenarnya ada niat untuk menginap di Laguboti, namun karena kerabat yang di tuju juga sedang bepergian akhirnya kuputuskan untuk melewati Balige dan menginap di Siborong-borong di rumah keluarga Jery Marbun. Jery akhirnya turut menemani turun ke kembali Balige yang lebih dulu singgah ke Sopo Surung“ sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan menuju Bakkara. Perjalanan akan di tempuh dengan kapal kayu dari pelabuhan Balige.

Perjalanan menuju Bakkara.

Melalui informasi yang kami dapat Monang Naipospos saat bertemu di sebuah warung kopi di Balige, kapal biasanya berangkat jam tiga petang. Jadi kami hanya memiliki sedikit waktu untuk berbincang mengenai sastra Batak dan seputar aktivitas kebudayaan dan lingkungan hidup. Monang mengutarakan juga gagasannya membuat tour danau Toba untuk anak-anak usia sekolah dini di Kabupaten Toba Samosir .

Bagi Monang Naipospos, menanamkan cinta danau Toba, juga penting dilakukan bagi anak-anak di bonapasogit. “Danau toba bukan hanya untuk turisme,” kata Naipospos menutup pembicaraan. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 15:00 Aku dan Jery bergegas menuju pelabuhan. Kami terlambat, kapal sudah berangkat. Dari pelabuhan masih terlihat kapal tersebut berlayar dan menjauh dari Balige. Untunglah masih ada satu kapal lagi yang bersedia menghantar kami ke Bakkara.

Semula, nahkoda yang bermarga Nainggolan itu tak mau menaikkan kami, dengan alasan rute kapal hanya lewat Lottung dan Janji Raja dan bukan Bakkara. Kalau mau lewat Bakkara tarif limapuluh ribu rupiah per orang kata Nainggolan memberi tawaran. Tak menyia-nyiakan kesempatan itu aku langsung setuju. Di dalam kapal sudah ada (inang –inang) ibu-ibu pedagang yang duduk bergerombol di atas tikar sambil bercanda, mereka sangat bersahaja.

Saat distater mesin kapal kayu itu agak terbatuk-batuk, mungkin sudah tua. Namun akhirnya mesin kapal itu stabil. Kapal bergerak mundur, memutar balik haluan, lalu mengarungi perairan danau nan elok itu. Pelabuhan Balige semakin jauh tertinggal di belakang, sementara cakrawala berwarna biru cemerlang. Sejauh mata memandang, ada saja hal-hal yang menarik perhatian. Mungkin saja karena ini sebagai pengalaman pertama ku mengarungi rute danau ini. Menjelang kapal melintasi pulau si Bandang, Sepasang pengantin yang sejak awal ikut duduk bergerombol, membagi-bagikan roti bikuit kaleng yang mereka bawa. Ibu-ibu itu menawari kami roti biskuit itu sambil bertanya apa marga kami dan apa tujuannya ke Bakkara? Aku jawab sambil bercanda dan menolak dengan halus tawaran roti itu, karena lebih asyik memajakan mata dengan menikmati pemandangn yang menakjubkan di perairan tersebut. Kami melihat seorang nelayan tampak terapung dengan (solu) sampan tradisionalnya jauh di tengah danau. Tak memakan waktu kapal motor kayu “Beta” yang kami tumpangi persis berada di sisi pulau Sibandang yang berhadapan dengan Muara.

Di samping Pulau Samosir , Pulau Sibandang merupakan pulau terbesar kedua yang berada di perairan danau Toba. Penduduknya bertani dan nelayan. Perkampungannya tertata rapih mengikuti kontur tanah yang berbukit di pulau itu. Pulau Sibandang juga terkenal sebagai penghasil buah mangga besar dan tak mudah busuk.

Kapal motor “Beta” yang kami tumpangi sempat singgah di kampung Lottung, untuk menurunkan Penumpang. Hari semakin senja, dua puluh menit kemudian kami sampai di Bakkara waktu itu sudah jam 5:15. Aku dan Jery turun dari kapal ke dermaga kecil itu. Ternyata dermaga sudah bagian onan Bakkara . Hari itu memang bukan hari onnan, jadi sepi.

Kedatangan kami disambut gonggongan anjing, beberapa penduduk mengeluarkan kepala dari jendela menoleh kejalan. Mereka heran melihat kedatangan kami dari arah danau, suatu pemandangan yang kurang lazim. Beberapa orang tua yang berada di lapo menawarkan kami untuk singgah dulu untuk minum teh atau kopi. Kami pesan teh, setelah sedikit tanya jawab perjalanan dengan jalan kaki kami lanjutkan. Aku dan Jery melangkah mengikuti jalan lurus yang membelah Bakkara itu, hingga tiba di pertigaan, mendekati (Tombak) hutan Sulu-sulu. Menyadari tidak ada penginapan aku mulai gelisah karena tak ada tempat untuk bermalam. Akhirnya kami singgah lagi di sebuah warung dan memesan makanan seadanya. Kesempatan ini kami gunakan mencari informasi lebih banyak lagi, mengenai beberapa situs-situs di Bakkara. Beruntung sebuah bus yang mau kembali ke Dolok Sanggul datang. Hal ini membuat aku dan jery gembira, malam itu kami bisa kembali ke Dolok Sanggul.

Keesokan harinya, aku dan Jery kembali lagi ke Bakkara untuk mendatangi tempat-tempat bersejarah dan indah itu. Mulai dari Tombak Sulu-sulu, Hariara namar mutiha, Aek sipangolu dan tentu saja Istana Bakkara yang sudah mulai dipugar itu. Siang itu kami melihat anak-anak menikmati libur sekolah mereka dengan mandi-mandi di aek silang sebuah sungai yang membelah Bakkara. Bakkara adalah lembah tua, berada tepat di bibir danau Toba. Turis domestik pun jarang berkunjung ke Bakkara, apalagi turis asing, semakin lengkaplah perjalanan kali ini sebagai perjalanan yang bebas dari nilai komersialisasi. Bebas melangkah dan berjalan menyusuri kampung-kampung di sini. Mereka yang datang ke Bakkara umumnya adalah para peziarah. Jalan yang berat, curam dan berkelok membuat Bakkara yang indah tetap menyimpan misteri sejarah bangso Batak. Apabila Pustaha 24 jilid yang ditulis oleh Ompu Sohahuaon atau Sisingamangaraja XI yang ditulisnya dalam aksara Batak itu dikembalikan ke Bakkara, dimana Ompu Sohahuaon bersemayam, mungkin saja Bakkara akan memancarkan sinarnya kembali. Begitulah perjalanan kami sebagai pionir yang ingin mengajak setiap orang untuk singgah ke Bakkara, lewat pelabuhan Balige.
*Jeffar Lumban Gaol

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut